Sabtu, 22 Mei 2010

Kekuatan Umat berbasis Masjid

Nama : Burhan
NIM : 208 400 801
Jur/Smt/Kls : Jurnalistik/VI/A
Mt. Kul : Wawancara
Drs. Yusuf Rahmat Allolangi
Yusuf Rahmat Allo langi (lahir di Toraja, 6 Januari 1952), Dengan nama Johanis Rumengan Allolangi. Putera keenam dari pasangan Rohaniawan Kristen Protestan, Andarisa Allolangi dan Ludia Lombong. Yusuf menempuh pendidikan SD, SMP, hingga PGAA di kampung halaman. Jiwa aktifis Yusuf muncul sejak SMP, hal tersebut dibuktikan keikutsertaan Yusuf dalam Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Kabupaten Tana Toraja.
Tahun 1971 mewakili Gereja Toraja mengikuti Program Motivator Pembangunan dari Dewan Gereja Indonesia (DGI) Pusat. Namun, berhubungan tidak berlanjut, maka Yusuf mengikuti kuliah pada Akadermi Komunikasi Massa Bandung yang diselesaikan pada tahun 1979, dan memperoleh biaya beasiswa dari Dewan Gereja Indonesia (DGI) Pusat, Jakarta. Semasa kuliah, Yusuf aktif sebagai Pengurus (Wakil Ketua) Gerakan Pemuda Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GP-GPIB) Kota Bandung, Rohaniawan Kristen Protestan di AURI Husein Sastranegara, Guru Agama Kristen Protestan SD Angkasa, dab Penyiar Radio sejahtera (Pekabaran Injil) yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda Bandung.
Dalam usianya yang ke 24, Yusuf mengambil keputusan yang radikal. Yusuf memilih masuk Islam dan akhirnya mengucapkan dua kalimah syahadat pada tanggal 16 Januari 1976 di Masjid Agung Bandung dari pada , di hadapan Ketua MUI Jawa Barat KH. E.Z. Muttaqien (alm), Rektor IAIN SGD Bandung Drs. H. Solahudin Sanusi. Juga dihadiri para sesepuh lainya seperti Drs. H.O. Taufiqullah, dan Drs. H. Utuy Turmudzi (alm). Sejak saat itulah, resmi berganti nama menjadi Yusuf Rahmat Allolangi. Keputusannya itu membuat ayah Yusuf, Andarias Allolangi menghapus nama Yusuf dari Kartu Keluarga.
Tahun 1980, Yusuf melanjutkan kuliah di STIA-LAN RI kampus Bandung, lulus ditahun 1982. Pada tanggal 18 Februari 1983, Yusuf memutuskan untuk menikah dengan seorang gadis Parahiyangan bernama Ikeu Widhiani, dan kini dikaruniai lima orang putra-putri (seorang telah almarhum), serta seorang cucu.
Tahun 1977, Yusuf diangkat menjadi PNS di lingkungan Kanwil Departemen Agama Pripinsi Jawa Barat, Kemudian menjabat sebagai Humas IAIN SGD Bandung tahun 1980-1989. Selanjutnya beralih profesi menjadi Dosen mata kuliah Public Relation di fakultas Ushuludin, laberalih ke Fakultas Dakwah IAIN SGD Bandung hingga kini.
Selain menjadi Dosen, Yusuf turut aktif dibeberapa oraganisasi seperti : Biro Pengabdian Masyarakat MKGR Jawa Barat, Wakil Ketua GEMA-MKGR Jawa Barat, dan kelompok kerja Golkar Jawa Barat sampai tahun 1997. Pada tahun 2005 Yusuf merintis berbagai upaya pemberdayaan umat, antara lain Lembaga Pengembangan Manajemen Kemasjidan dan Pemberdayaan Ekonomi Umat (LPM-KPEU) Fakultas Dakwah IAIN SGD Bandung.
Yusuf juga aktif di Asosiasi Pengelola Ekonomi Umat Dewan Keluarga Masjid (ASPEK-DKM) Jawa Barat, Gerakan untuk Peduli Anak Yatim, Fakir Miskin, Rakyat Sehat (GUPAY-RASA) KORPRI Jawa Barat, Pondok Pesantren ASRI (Andal, Sehat, Rindang, Innovatif) UIN SGD Bandung, Forum Islamic Centre Jawa Barat, dan sam pai sekarang masih memegang amanat sebagai pelaksana Masjid At-Ta’awun Puncak Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan Jabatan Wakil Ketua. Tahun 2008, Yusuf mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satia pengabdian selama 30 tahun dari Presiden RI>
Keseharianya yang disibukan organisasi, tidak membuat Yusuf meninggalkan hobby tenisnya. Aktifis yang beralamatkan di Jl. Vijaya Kusumah XI Blok D tetap dapat membagi waktu untuk keluarganya. Kedewasaan dan sejumlah prestasi yang diraihnya, membuat keluarga Yusuf kembali mengfakui keberadaanya sebagai keluarga Allolangi.
MANAJEMEN UMAT BERBASIS MASJID
Keberadaan Yusuf dalam Islam selama 36 tahun, membuat Yusuf faham dan tau benar permasalahn yang di hadapi Islam saat ini. Keterpurukan pemeluk islam yang dikatakan warga mayoritas RI membuat Yusuf tergerak untuk kembali menghimpun kekuatan. Yusuf yakin, menejemen umat harus segera ditata ulang.
Semangatnya untuk merepisi UU pengolahan Zakat, 33 tahun 1999 bukan karena faktor yang tidak jelas. Bagi Yusuf kekuatan zakat mampu menopang keberjalan dan kekuatan Islam. Jika Sholat merupakan tiang agama, maka Yusuf yakin bahwa Zakatlah yang menjadi penyangganya. Pengolahan zakat yang dikelola oleh lembaga diluar masjid seperti yang tertuang pada UU Zakakat nomor 38 tahun 1999 pasal 22 tidak akan menyentuh kepentingan umat secara menyeluruh.
Mengandalkan Lembaga Amil Zakat (LAZ), tidak akan memakmurkan umat, itu hanya akan membelenggu Islam. Kebijakan Pemerintah RI dengan mengelola zakat diluar masjid hanya akan menjadikan Islam menjadi bonsai. Yusuf berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai tuan rumah di negerinya sendiri, bukan sekedar tamu. Karena bagaimanapun Islam yang ikut berperan besar dalam kemerdekaan RI, bahkan Islam turut memberi kontribusi yang besar terhadap perumusan Pancasila.
Dalam GBHN RI dijelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan Negara dilakukan oleh masyarakat, artinya dengan pengelolaan zakat berbasis masjid, itu tidak akan mengancam stabilitas Negara, karena hasil akhir dari pengelolaan zakat berbasis masjid akan turut dirasakan Negara dan bukti pembangunan Negara akan tetap ada. Dan tentu saja dengan pengelolaan Zakat oleh masjid akan turut mensejahterakan kehidupan umat islam. Karena masjid tahu benar asnaf yang berada dilingkungan masyarakat.
Dengan tidak dikelolanya Zakat oleh masjid, mencerminkan Indonesia bersifat ambivalence dalam kontek bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati, yang isu nya menolak keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) untuk menguasai Indonesia walau hanya sejengkal tanah. Masyarakat islam merupakan warga mayoritas Indonesia yang turut menyokong kedaulatan NKRI, namun dalam pengelolaan Negara RI tidak memberikan akomodasi yang sesuai bagi perkembangan islam, secara tidak langsung pengelolaan Zakat diluar masjid tidak akan membuat Islam berkembang, dengan Islam yang tidak berkembang, maka keutuhan NKRI justru terancam, karena mayoritas warga Negara yang menyokong NKRI adalah pemeluk Islam.

Pembangunan SOR Gede Bage

Tehambat oleh Pemulung.
Pembangunan SOR Gedebage menjadi kebanggaan tersendiri bagi bobotoh PERSIB dimanapun mereka berada. SOR Gedebage ini akan mengakhiri predikat “numpang” disetiap Persib main kandang. Pembangunan SOR ini merupakan bentuk kepedulian dari pemerintah provinsi dan daerah.
SOR Gedebage yang ditargetkan rampung pada akhir tahun 2011 ini tampaknya tak akan selesai sesuai target. Lamanya pembebasan tanah merupakan salah satu kendalanya. “Sebenarnya masyarakat tak menjadi masalah, hanya saja ada beberapa “penyulut dan pemulung” yang mengambil kesempatan dalam pembangunan ini” kata pegawai Dinas Tata Ruang dan Cipta, Djadja ( 20/4 ) saat saya temui ditempat parkir.
“Seperti sudah menjadi hal yang lumrah, ketika ada suatu proyek apapun, maka yang didahulukan oleh pemuja harta adalah berperan sebagai penyulut sekaligus pemulung. Dari hasil perannya itu, mereka memperkaya diri. Dilain pihak, ketika program pemerintah tidak tuntas, maka merekalah orang terdepan yang memprotes kinerja pemerintah, padahal tanpa mereka sadari, merekalah yang menghambat dan mengambil kesempatan dalam kesempitan itu”, tegas pegawai Dinas Tata Ruang dan Cipta, Djadja.
“ Sebenarnya tuntutan segelintir warga yang meminta kompensasi tidak memiliki payung hukum yang jelas, itu hanya kebiasaan yang menjadi system dan membudaya saja “ Kata mandor pembangunan, Asep Sofyan Ansori saat saya temui di lapangan.
“ 40 H tanah sudah kami bebaskan pada akhir tahun 2009 kemarin “ tambahnya. Rencananya, SOR seluas 80 H ini dipersiapkan untuk menyambut Sea Game 2011 mendatang. SOR berstandar Internasional menyedot anggaran Pemda dan Pemprov “. Ketika kami tanyakan apakah pembangunan ini mempengaruhi anggaran untuk kegiatan Persib, dengan tegasnya Djadja mengatakan “ Tentu saja tidak, anggaran ini diperoleh dari Pemda dan Pemprov.”


SOR, Pesimis 2011

SOR Gedebage- Ekspresi mandor pembangunan SOR, Asep saat saya menjelaskan perkembangan pembangunan SOR.
“ Saya pesimis pembangunan SOR Gede Bage akan rampung seutuhnya ditahun 2011 ” kata seorang mandor pemenang tender pembangunan SOR, Asep Sofyan Ansori. Salah satu mandor PT Adhi Karya ini menjelaskan beberapa faktor non teknis yang dihadapi di lapangan. Cuaca Bandung yang akhir-akhir ini dominan turun hujan menjadi salah satu faktor yang dikeluhkannya. “ Karena hujan, medan menjadi licin, sehingga pekerjaan kami terganggu “ tegas Asep saat itu.
Pembangunan SOR Gedebage sudah berjalan lebih dari empat bulan. Namun perkembangan pembangunan saat ini baru mencapai pematangan lahan (pengurugan). Rencananya, Luas SOR ini mencapai 80 H, 10 H diantaranya akan digunakan untuk pembangunan stadion sepak bola untuk PERSIB, sisanya untuk fasilitas olah raga lainnya. Luas stadion ini melampaui stadion terbaik ke tiga di Indonesia, stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung.
Stadion yang menggunakan akses jalan TOL ini ternyata tak seperti nama jalannya “ jalan bebas hambatan “, untuk membuka jalan TOL di KM 149 poin 200m saja sudah mulai terhambat, lambatnya perijinan menjadi hambatan. Saat saya menemui pihak pemborong (20/4), pembangunan jembatan yang digunakan sebagai jalan antisipasi saja belum setengah jadi, apalagi membuka jalan di KM tersebut.

Akses jalan- Pembuatan jembatan terhambat karena sulitnya perijinan.
Belum lagi, rencananya akan dibuka juga jalan utama menuju SOR Gede bage ini di KM 151. “ Tampaknya kami membutuhkan waktu Over Head untuk menyelesaikan proyek ini“ kata Asep. Ketika kami tanyakan berapa lama tambahan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek tersebut, Asep tidak dapat menentukan batasan waktu yang mereka butuhkan. “ Untuk membangun sebuah jembatan beton saja over head yang diperkirakan adalah 1 bulan hingga 1 bulan lima belas hari, jadi over head yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan ini dapat diperkirakan sendiri “ jawab Asep dengan nada pesimis.
“ yang penting ada lapang dulu “ kata Asep, “ itu kalimat yang saya dengar langsung dari Pak Wali Kota “ tambah Asep. Hal tersebut menyimpulkan bahwa pembangunan SOR Gede bage tidak akan selesai tepat waktu. Akhir 2011 hanya akan menghasilkan Stadion Sepak bola saja. Lantas bagaimana dengan isu SOR gede bage yang akan digunakan sebagai tempat berlangsungnya Sea Game ?
Asep menjelaskan bahwa, pemasangan lay out SOR gede bage menjadi motivasi mereka menyelesaikan pembangunan ini. “ Sudah tanggung di sebarkan di media internet sih, jadi mau tidak mau, kami harus menyelesaikannya secepat mungkin” tambahnya.
1.000 Pekerja Menjadi Tumbal Pembangunan
“Target November 2011 tampaknya sulit diraih. Banyak faktor teknis dan non teknis yang menghambatnya. Namun apapun yang terjadi, pembangunan ini harus tetap dilaksanakan. Betapa tidak, pembangunan SOR Gedebage ini telah menjadi salah satu janji dari Wali Kota Kota Bandung, H. Dada Rosada saat menggelar pemilu pemilihan Wali Kota yang lalu”. Ujar Asep.
Tak terbayangkan, berjuta ekspresi kegembiraan warga kota Bandung saat SOR ini rampung, namun tak terbayangkan pula, berjuta ekspresi kekecewaan yang dirasa jika SOR ini terbengkalai. Mengingat November 2011 bukanlah waktu yang lama, maka perlu diadakanya percepatan pembangunan tanpa mengurangi kualitas pembangunan tersebut. “ Lebih dari 1.000 pekerja akan dikerahkan siang dan malam, pekerja ini berasal dari warga terdekat “ tutur Asep Sofyan Ansori.
Dalam pembangunan SOR ini akan diberlakukan kerja shif, shif siang dan shif malam. Proyek ini akan menyedot tenaga yang sangat besar, “ tampaknya 1.000 pekerja akan tersa kurang sekal ”tambah Asep. ” jika 1.000 pekerja masih kurang, maka kami akan menambahnya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan “, Jelasnya.

SOR Gedebage- Pelaksanaan pembangunan SOR Gedebage berlangsung siang dan malam.
SOR VS PLTSa
Penolakan pembangunan PLTSA beberapa tahun lalu menjadi masalah sendiri bagi warga Gede bage. Pembangunan PLTSA merupakn solusi yang ditempuh untuk mengatasi julukan Bandung saat itu, Rubbis Van Java. Kota kembang yang disulap menjadi kota sampah itu bermula dari longsornya TPA Leuwi Gajah, Cimahi. Akibatnya, Sampah menumpuk disetiap pojok Kota Bandung.
Permasalahan sampah tersebut menggerakan hati pemerintah untuk secara cepat mengambil langkah, salah satunya membuat PLTSa di Gedebage. Namun, warga Gedebage saat itu menolak pembangunan PLTSa tersebut karena dianggap akan mengganggu kesehatan warga. Seolah menjadi trauma bersama, longsornya Leuwi gajah yang menelan banyak korban ikut dirasakan oleh warga Gedebage. Lantas bagaimanakah sikap warga tentang pembangunan SOR Gede bage ?
“Pembangunan SOR dan PLTSa jelas sangat berbeda. SOR merupakan dambban kami sebagai warga Kota Bandung, apalagi kami adalah supporter PERSIB. Kami tidak merasa terganggu oleh pembangunan SOR ini”. Tegas Andi saat saya temui di area pembangunan.
Asep menjelaskan bahwa ketidaktahuan warga tentang PLTSa lah yang membuat mereka menolak pembangunan ini. Mereka cenderung mempersepsikan PLTSa dengan bahaya sampah yang akhir-akhir lalu menjadi masalah. Lain halnya dengan SOR, mereka sudah tahu betul bahwa SOR ini banyak manfaat yang secara langsung dapat dilihat.
“ Padahal PLTS dapat memberikan manfaat yang besar, PLTSa dianggap solusi yang bagus untuk menanggulangi masalah sampah saat itu. Karena PLTSa dan TPA itu memiliki perbedaan yang sangat jauh.” Tutur Asep.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah ( PLTSa ) Gedebage adalah sebuah fasilitas pembangkit listrik berkapasitas 7 MW yang menggunakan sampah sebagai bahan bakarnya.

analisis Efek terpaan media massa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Komunikasi Massa berawal dari Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1946 di gedung Perguruan Tinggi Hunter New York Amerika Serikat. Agenda sidang organisasi terbesar di dunia itu adalah membahas kelangsungan keamanan dunia paska Perang Dunia II. Dari sidang itulah Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa di perkenalkan. Ribuan pengamat politik, pers dan masyarakat biasa dapat menyaksikan sidang penting itu melalui Televisi dari luar gedung yang di jaga ketat oleh aparat keamanan Amerika .
Sejak saat itu, Televisi mulai berkembang ke seluruh penjuru dunia. Amerika Serikat merupakan Negara pertama yang mengembangkan teknologi Televisi secara besar-besaran. Bahkan pada tahun 2003 di Negara tersebut, tidak kurang 750 stasiun siaran Televisi telah di dirikan. Jumlah ini pasti lebih di tahun 2007. Dewasa ini Televisi telah menjadi salah satu kebutuhan hidup masyarakat. Hampir di seluruh rumah-rumah penduduk baik di Indonesia maupun di Negara lainnya, telah terdapat Televisi. Ini menunjukkan televisi telah menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia.
Sedangkan di Indonesia sendiri, Televisi baru di perkenalkan pada tahun 1962. Sebagaimana pola komunikasi lainnya, komunikasi massa dari waktu ke waktu terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Perubahan ini dapat di lihat dari jumlah stasiun televisi dan program siaran yang di tawarkan ke publik. Dahulu pada awalnya, Indonesia hanya memiliki satu stasiun Televisi, saat itu hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang memancarkan siaran. Untuk Indonesia, paska di cabutnya SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) tahun 1998, negeri ini telah memiliki sepuluh stasiun siaran televisi baik swasta dan pemerintah .
Kemajuan teknologi komunikasi massa secara visual juga di tampakkan dengan semakin menariknya tayangan yang di sajikan. Bukan itu saja, program siarannya pun kini semakin bervariasi. Dari siaran komedi sampai siaran pariwisata. Dari siaran pendidikan sampai siaran hiburan dan dari siaran yang mengandung nilai humor sampai ke siaran yang mengandung kekerasan. Semuanya di rangkum oleh televisi kita saat ini.
Semakin banyaknya stasiun Televisi yang bermunculan di Indonesia maka seharusnya semakin maju pula negeri ini. Hal ini di karenakan, menurut R. Mar’at dari Universitas Padjadjaran Bandung, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan rasa penasaran para penonton. Kemampuan media Televisi untuk “membius” penontonnya tidak dapat di ragukan. Secara psikologi, jika ada seseorang yang terharu, menangis atau bahkan menjerit saat menonton salah satu program televisi yang di siarkan adalah hal yang wajar.
Persaingan antar stasiun televisi sendiri di Indonesia semakin ketat. Semua stasiun Televisi berlomba-lomba untuk membuat program unggulan yang sedang di minati oleh masyarakat. Tujuannya, agar para pemasang iklan juga mengiklankan produk mereka di stasiun televisi tersebut. Stasiun Televisi jika tidak memiliki penonton, alamat station tersebut tidak akan mendapatkan iklan. Akibatnya, tidak akan ada pemasukan perusahaan. Bahkan tidak jarang, jika telah mengalami penurunan jumlah pemasang iklan, perusahaan Televisi akan meniru program yang di tayangkan oleh salah satu Televisi yang sedang naik daun. Inilah wajah pertelevisian di Indonesia. Kantong perusahaan menjadi nomor satu. Sedangkan program siaran dan efeknya menjadi samar dengan tujuan awal dari perusahaan Televisi di negeri ini. Secara umum semua Televisi di negeri ini bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga terdapat dalam batang tubuh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, fakta berbicara lain. Untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana prinsip ekonomi, perusahaan Televisi mulai melupakan tujuan utamanya. Tayangan kekerasan mulai marak di siarkan di Indonesia. Seluruh stasiun Televisi memiliki program acara jenis ini. Misalnya, Opera Van Java di Trans7 yang menampilkan kekerasan dibaluti humor. Meningkatnya angka kriminalitas dewasa ini cendrung di tuding televisilah sebagai biangkeroknya. Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas. Kejadian ini sungguh menggem-parkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak. Kasus lainnya adalah pengakuan produser PATROLI Indosiar, Indira Purnama Hadi. Indira bertutur, suatu hari dirinya mewawancarai pelaku pencurian kendaraan bermotor di Sleman, Yogyakarta. Usia pelaku kriminal itu masih sangat muda, sekitar 17 tahun. Dalam sehari pria ini bisa mencuri satu sampai dua kendaraan bermotor. Lalu, si pelaku tindak pencurian ini mengaku, untuk mencuri dia mengikuti jejak dari tayangan Patroli Indosiar.
Bermula dari tayang seminggu sekali, lalu meningkat seminggu dua kali kini program komedi Opera Van Java (OVJ) muncul lima kali dalam sepekan . Aksi kocak yang dilakukan Parto, Sule Aziz gagap, Nunung, juga Andre Taulany membuat Opera Van Java menempati urutan pertama dalam hal rating. Kekocakan para pelawak itu semakin menjadi lucu ketika ada adegan saling pukul dan saling hantam dengan benda yang menyertainya. Namun adegan kekerasan itu dianggap tidak berbahaya karena jenis barang yang digunakan untuk memukul dibuat dari bahan Styrofoam.
Dengan berbalut humor, dan menjadikan alasan Styrofoam sebagai alat yang tidak berbahaya, OVJ menayangkan tayangan kekerasan. Dosen dan Ketua Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Drs. AS Haris Sumardiana, M.Si mengatakan bahwa penayangan OVJ yang menggunakan Styrofoam untuk menayangkan kekerasan, mengabaikan nilai-nilai etika dan moralitas. Menurut dosen UIN SGD Bandung tersebut, bukan Styrofoam yang dijadikan masalah, namun tindakan kekerasan itu sendiri yang akan mempengaruhi prilaku masyarakat kearah kekerasan.
Lalu inikah yang di sebut mendidik dari siaran Televisi? Bukan hanya itu, prubahan pola tingkah laku remaja saat ini, juga di kait-kaitkan dengan tayangan Televisi. Artinya, banyak kalangan menilai televisi mampu merubah budaya (culture) dan perilaku manusia. Benarkah ini?

B. Batasan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka batasan masalah yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Hubungan Media Massa dan Masyarakat
2. Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat
3. Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-Anak.



C. Tujuan Penulisan
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka tujuan yang di hasilkan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis dan Mendeskripsikan peranan komunikasi massa dalam prubahan social dan budaya masyarakat.
2. Mendeskripsikan, menganalisis dan memberi solusi dari efek tayangan kekerasan yang di siarkan oleh stasiun televisi di Indonesia saat ini.

D. Metode dan Teknik analisa
Untuk menyelesaikan makalah ini, penyusun menggunakan metode dan teknik analisa :
1. Metode observasi dengan teknik analisa wawancara (Dosen dan Ketua Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung) dan membagikan 200 quisioner yang dibagikan pada 100 mahasiswa dan 100 masyarakat secara acak.
2. Metode Literatur dengan teknik analisa browsing internet dan studi perpustakaan ( UIN SGD BDG)

E. Landasan Teori
Efek komunikasi massa telah lama di perbincangkan dalam khasanah kajian Ilmu Komunikasi. Bahkan, efek ini di kaji secara ilmiah oleh para pemikir atau ilmuan komunikasi. Salah satunya yang membahas tentang efek media adalah wilbur Schraam. Schraam mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesan-pesan komunikasi massa yang di sampaikan kepada khalayak yang heterogen dapat di terima secara langsung tanpa memiliki filter sama sekali. Artinya, komunikan sangat terbius oleh suntikan pesan yang di sampaikan media massa. Suntikan pesan ini masuk ke dalam saraf dan otak serta melakukan tindakan sesuai dengan pesan komunikasi massa tersebut. Pendapat Schramm di dukung oleh Paul Lazarzfeld dan Raymond Bauer .
Teori lain yang berbicara tentang efek media massa terhadap publik atau khayaknya adalah teori agenda setting (teori penataan agenda). Teori milik Mc. Combs dan D.L. Shaw menyebutkan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media tersebut akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.
Jika melihat argumen yang di kemukakan oleh dua pakar komunikasi ini maka, media cendrung membuat agenda tayangannya terhadap publik. Ini yang kemudian di kenal sebagai istilah manajemen media massa. Manajemen media massa sendiri terdiri dari bagaimana mengatur program siaran, proses membuat program tersebut dan lain sebagainya. Media di Indonesia tampaknya memang menganut teori yang satu ini. Dimana dalam kasus Tayangan Kekerasan semua media memiliki tayangan jenis ini dengan nama yang berbeda. Bukan hanya tayangan kekerasan berita yang di tampilkan seperti Patroli, Sergap, Sidik dan lain sebagainya. Namun, tayangan kekerasan lainnya yang dibaluti oleh humor seperti OVJ di Trans7.
Menyangkut terhadap perubahan budaya, media juga berperan penting. Sudah menjadi rahasia umum, media memiliki kemampuan yang luar biasa untuk merubah, menciptakan atau bahkan menghilangkan budaya. Budaya yang telah berkembang di tengah komunitas tertentu secara perlahan akibat terjangan media akan hilang dengan sendirinya. Ini yang tengah terjadi di Indonesia. Teori yang membahas masalah ini yaitu Teori Norma Budaya (cultural norms theory). Dalam teori yang di perkenalkan oleh Melvin DeFleur ini menyebutkan media massa melalui program tertentu dapat menguatkan budaya atau bahkan sebaliknya media massa menciptakan budaya baru dengan caranya sendiri.
Penekanan media pada program siaran tertentu akan membuat masyarakat menganggap penting dan mengikuti tindakan-tindakan seperti yang di tampilkan di media tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah kasus Ny. Lia Marfiandi. Ibu muda ini terkejut saat melihat anaknya yang berusia delapan tahun memecahkan piring dan gelas secara tiba-tiba. Bahkan, sang anak tidak merajuk atau lain sebagainya. Sang anak ini mengaku melihat tampilan Joshua dalam sinetron Anak Ajaib. Sehingga, dia melakukan pemecahan piring, gelas dan pas bunga sambil tertawa terbahak-bahak.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Massa
A.1. Pengertian
Setiap manusia pada hakikatnya sangat membutuhkan komunikasi. Hal ini di karenakan, manusia memiliki sifat untuk saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Jika tidak menggunakan komunikasi antar sesamanya, maka manusia itu akan terisolasi dari dunia yang semakin canggih dan modern ini. Para pakar komunikasi menyebutkan, kebutuhan manusia untuk berkomunikasi di dasari atas dua kebutuhan, yaitu, kebutuhan untuk melangsungkan hidup dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan teori dasar biologi.
Harold D. Lasswell salah seorang peletak dasar Ilmu Komunikasi menyebutkan tiga hal, mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi, manusia dapat mengetahui hal-hal yang dapat di manfaatkan, di pelihara dan di menghindar dari hal-hal yang mengancam alam sekitarnya.
2. Upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan hidup masyarakat pada dasarnya, tergantung masyarakat itu sendiri. Bagaimana komunitas-komunitas masyarakat di suatu daerah tertentu beradaptasi dengan lingkungannya.
3. Upaya untuk mentranspormasi warisan sosial. Suatu masyarakat yang ingin melangsungkan hidupnya, maka akan melakukan upaya transpormasi sosial terhadap generasi penerusnya. Misalnya, bagaimana seorang Ayah mengajarkan tatakrama terhadap anaknya.
Secara sederhana, Onong Uchjana Efendi menyebutkan komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu. Sementara itu, sebagai salah satu cabang ilmu sosial, Ilmu Komunikasi juga terbagi ke dalam beberapa kajian ilmu lagi. Pembagian ini mengingat keterbatasan manusia untuk menguasai seluruh bidang ilmu. Komunikasi juga mengklasifikasikan diri kedalam Komunikasi Massa, Komunikasi Politik, Komunikasi Antar Budaya dan lain sebagainya.
Komunikasi Massa sendiri menurut Tan dan Wright, merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Secara sederhana, komunikasi massa adalah pesan yang di komunikasikan melalui media massa kepada khalayak dalam jumlah besar.
Dari definisi di atas, dapat di simpulkan, bahwa komunikasi massa harus di menggunakan media massa. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci di rumuskan oleh Gerber (1967). Menurutnya, komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan pada lembaga dan berkelanjutan serta di sampaikan secara luas.
A.2. Ciri-ciri Utama Komunikasi Massa
Ciri utama komunikasi massa terletak pada beberapa hal sebagai berikut:
1. Komunikator Terlembaga
Ciri ini adalah komunikator (penyampai pesan), dalam komunikasi massa komunikator bukanlah personal. Namun, lembaga yang menyampaikan pesan tersebut. Lembaga penyampai pesan komunikasi massa ini adalah media massa itu sendiri, seperti televisi, surat kabar dan radio. Semua media itu bekerja terlembaga. Misalnya, sebuah program tayangan televisi seperti Sergap di RCTI maka terjadinya proses kerja lembaga dalam proses penyajian program tersebut kepda masyarakat. Program itu berawal dari rancangan liputan yang di lakukan oleh wartawan, kemudia wartawan mengirimkan atau menyetorkan hasil liputannya kepada redaktur media tersebut. Redaktur akan mengedit kembali gambar dan tata bahasa yang di gunakan wartawannya. Setelah semuanya berlangsung sesuai prosedur, berita tersebut akan di serahkan ke bagian teknisi untuk di tampilkan ke layar televisi. Skrip berita itu tentunya akan di berikan kepada pembaca berita (presenter). Seluruh proses itu bukan di lakukan secara personal, namun di lakukan oleh tim atau banyak orang. Sehingga di sebutlah komunikator dalam komunikasi massa terlembaga.
2. Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa bersifat terbuka. Hal ini di karenakan, komunikan tersebar di berbegai tempat. Selain itu, pesan bersifat umum maksudnya adalah pesan-pesan yang di sampaikan oleh komunikator di tujukan oleh masyarakat luas atau masyarakat umum. Tidak ada klasifikasi pesan, misalnya di khususkan untuk masyarakat di Pulau Jawa dan lain sebagainya. Meskipun demikian, pesan yang di sampaikan melalui komunikasi massa harus melalui tahap seleksi terlebih dahulu. Pesan itu sendiri dapat berupa peristiwa, fakta dan opini. Namun, tidak semua pesan dapat di tayangkan atau di tampilkan melalui komunikasi massa. Tolak ukur pesan dalam komunikasi massa adalah adanya nilai (value) penting dan menarik di dalamnya. Bagi jurnalis atau wartawan ini di sebut sebagai nilai-nilai berita. Nilai penting dan menarik itu sendiri sangat relatif. Semua itu tergantung bagaimana peristiwa, opini dan fakta tersebut penting di ketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakt tertarik untuk menonton tayangan tersebut. Pada akhirnya, masyarakat tidak akan meninggalkan saluran media komunikasi massa tersebut dan berpindah ke saluran (channel) lainnya.
3. Komunikan Heterogen
Komunikan atau penerima informasi dalam komunikasi massa bersifat heterogen. Hal ini di karenakan, komunikasi massa menyampaikan pesan secara umum pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan suku, ras dan usia. Masyarakat yang menerima pesan ini beragam karakter psikologi, usia, tempat tinggal, adat budaya, strata sosial dan agamanya.
4. Media Massa bersifat Keserempakan
Komunikasi massa bersifat keserempakan. Dalam hal ini, keserempakan yang di maksud adalah tayangan atau program siaran di sampaikan secara serempak. Misalnya, acara komedi Opera Van Java di Trans7 di terima secara serempak oleh seluruh masyarakat Indonesia.


5. Pesan yang di sampaikan satu arah
Dalam komunikasi massa pesan yang di sampaikan oleh komunikator bersifat satu arah. Tidak terjadi interaksi antara komunikator dan komunikan dalam sebuah program siaran. Dewasa ini, sifat satu arah ini lebih dominan dari pada sifat interaksi. Meskipun, pada program khusus, kemungkinan interaksi masih terbuka bebas. Misalnya, program Talk Show, bedah editorial Media Indonesia di Metro TV dan lain sebagainya.
6. Umpan Balik Tertunda (Delayed feed back)
Umpan balik merupakan wujud respon komunikan dari pesan yang di sampaikan oleh komunikator. Umpan balik dalam komunikasi massa bersifat tertunda, dalam arti umpan balik yang di sampaikan oleh komunikan tidak langsung di terima oleh komunikator. Misalnya, sebuah tayangan kekerasan di siarkan oleh salah satu stasiun televisi di Indonesia. Dalam psikologi di sebutkan, respon yang di terima masyarakat terdiri dari mendukung atau menolak tayangan tersebut. Pro dan kontra ini tidak dapat di sampaikan secara langsung saat program tayangan kekerasan tersebut sedang di siarkan. Butuh waktu untuk menyampaikan pesan. Penyampaian pesan ini dapat berupa kritik terhadap tayangan tersebut melalui surat pembaca di media massa dan lain sebagainya.
A.3. Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa awalnya di cetuskan oleh Laswell pada tahun 1948. Tokoh ilmu Komunikasi yang mendalami Komunikasi Politik ini menyebutkan, fungsi komunikasi massa secara umum adalah untuk pengawasan lingkungan hidup, pertalian dan transmisi warisan sosial.
Wright (1960) menyebutkan fungsi komunikasi massa berguna untuk menghibur. Mandelson berpendapat lain, dia menyebutkan fungsi komunikasi massa dalam hal untuk menghibur akan berpengaruh terhadap trasmisi budaya dan menjauhkan kerapuhan masyarakat. Media massa memiliki nilai edukasi sebagai salah satu fungsinya.
Dari dasar ide dan gagasan para ahli di atas, serangkaian fungsi komunikasi massa untuk masyarakat terdiri sebagai berikut:
1. Informasi
Fungsi informasi terdiri dari sebagai berikut:
- Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam amsyarakat dan dunia.
- Menunjukkan hubungan kekuasaan
- Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan.
2. Korelasi
Fungsi korelasi terdiri dari sebagai berikut:
- Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna dan informasi
- Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan
- Melakukan sosialisasi
- Mengkoordinasikan beberapa kegiatan
- Membentuk kesepakatan
- Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif
3. Kesinambungan
Diantaranya terdiri dari:
- Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru\
- Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai
4. Hiburan
Diantaranya terdiri dari:
- Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi
- Meredakan ketegangan sosial
5. Mobilisasi
Diantaranya terdiri dari:
- Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang agama.
Fungsi lain dari media massa juga di tinjau dari sudut pandang kepuasan indovidual. Hal ini menyangkut tentang kepuasaan individu terhadap tayangan yang di sajikan oleh media massa. Teori tentang kepuasaan atau di sebut dengan fungsionalisme individual ini di sebut Mc Quail sebagai salah satu fungsi media untuk kepentingan pribadi. Mc Quail menyebutkan fungsi media massa atau komunikasi massa untuk kepentingan pribadi sebagai berikut:
1. Informasi
Diantaranya terdiri dari:
- Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia.
- Mencari bimbingan menyangkut berbagai masalahpraktis, pendapat dan hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan.
- Memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum
- Belajar atau pendidikan diri sendiri
- Memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan
2. Indentitas Pribadi
Diantaranya terdiri dari:
- Menentukan penunjangan nilai-nilai pribadi
- Menemukan model prilaku
- Mengindentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media)
- Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri
3. Integrasi dan Interaksi Sosial
Dianataranya terdiri dari:
- Memperoleh pengetahuan tentang diri orang lain atau empati sosial
- Mengindentifikasi diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki
- Menemukan bahan percakapan dalam interaksi sosial
- Memperoleh teman selain dari manusia
- Membantu menjalankan peran sosial
- Memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak-keluarga, teman dan masyarakat
4. Hiburan
Diantaranya terdiri:
- Melepaskan diri atau terpisah dari permasalahan
- Bersantai
- Memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis
- Mengisi waktu
- Penyaluran emosi
- Membangkitkan gairah seks
B. Budaya
Budaya berasal dari kata budhi atau dalam bahasa sanksekerta buddayah yang berarti budi atau akal. Sedangkan kebudayaan (culture) yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan terutama dalam pengertian ini mengolah tanah atau bertani. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan berarti keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus di dapatnya dengan belajardan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Sidi Gazalba menyebutkan kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu ruang atau suatu waktu.
Pakar antropologi lainnya R. Linton dalam buku the cultural background of personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan perbuatan manusia, yang unsur-unsur pembentukannya dididukung serta di teruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Hal yang paling mudah di pahami tentang definisi kebudayaan di cetuskan oleh Melville J. Herkovits. Antropolog Amerika mendefinisikan kebudayaan adalah bagian dari lingkungan buatan manusia. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya dan kebudayaan di tafsirkan dengan arti pikiran atau akal.
Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas, dapat di rinci sebagai berikut:
1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang di lakukan dan di hasilkan manusia. Karena itu meliputi :
a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, seperti alat-alat perlengkapan hidup.
b. Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat di lihat dan di raba sperti religi, bahsa dan ilmu pengetahuan.
2. Bahwa kebudayaan itu tidak di wariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin di peroleh dengan cara belajar.
3. Bahwa kebudayaan itu di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sulit bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kebudayaannya.
C. Pembahasan Masalah
C.1. Hubungan Media Massa dan Masyarakat
Hubungan media massa dengan masyarakat telah di bahas dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Pertama, hubungan tersebut merupakan bagian dari sejarah perkembangan setiap media massa dalam masyarakat sendiri. Pola hubungan tersebut merupakan hasil refleksi sejarah yang di perkirakan turut berperan dalam perkembangan sejarah itu tersendiri. Terlepas dari adanya persamaan dari beberapa institusi media pada semua masyarakat, pada awalnya media juga menerapkan kegiatan dan konvensi sebagaimana yang diterapkan oleh institutasi nasional lainnya. Hal itu tampak dalam isi media. Mediapun memenuhi harapan khalayaknya. Media mencerminkan, menyajikan dan kadangkala berperan serta secara aktif untuk memenuhi kepentingan nasional yang di tentukan oleh para aktor dan isntitusi lain yang lebih kuat.
Kedua, gambaran media sebagai institusi mediasi, yang menghubungkan para anggota masyarakat biasa dengan peristiwa dunia yang sulit di jangkau oleh penguasa, merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang terjadi setidak-tidaknya karena adanya arus informasi yang berkesinambungan. Ketiga, sebagai suatu institusi yang di perlukan bagi kesinambungan sistem sosial masyarakat industri (informasi) modern yang berskala besar. Hubungan lainnya, dapat di lihat dari sisi normatif. Dalam sisi normatif ini di sebutkan harapan masyarakat terhadap media dan peran yang seharusnya di mainkan oleh media. Hal ini di karenakan, dalam fungsi media telah di sebutkan media massa berperan untuk membuat rasa nyaman terhdap publik atau komunikannya. Jika, masyarakat mulai tidak suka terhadap tayangan yang di tampilkan oleh televisi maka televisi tersebut dengan sendirinya akan mengalami “miskin” pendapatan. Pendapatan televisi terbesar di peroleh dari iklan. Para pemasang iklan akan melihat rating tayangan tertentu jika memasang iklan di televisi tersebut. Sebut saja misalnya, sebuah perusahaan akan mengiklankan produknya di salah satu stasiun televisi. Jika rating program yang di tayangkan sangat sedikit penontonnya, maka si pemilik perusahaan akan memilih program lain atau stasiun televisi lainnya yang memiliki penonton dengan jumlah besar.

C..2. Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat
Sebagaimana telah di singgung di atas, komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media massa sebagai saluran penyampaiannya..Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita politik membuat masyarakat jenuh dan akhirnya secara tidak langsung berharap agar stasiun televisi kreative dan melahirkan program siaran yang baru.
Menurut Gultom, teknik pembuatan barang-barang pendukung alur cerita itu disesuaikan dengan pemesanan dari produser yang telah menetapkan tema di setiap episode Opera Van Java. Untuk membuat property dari bahan Styrofoam itu, tim yang tergabung di divisi tersebut menyiapkan bahan-bahannya seminggu sebelum acara tersebut dimulai. Bahan-bahannya terdiri dari Styrofoam dengan berbagai ukuran seperti ketebalan 3 cm-10 cm dengan panjang yang sama sekitar 120cm x 240 cm.
Dari dua ratus quisioner yang penyusun bagikan secara acak kepada masyarakat, baik masyarakat pada umumnya maupun mahasiswa, 83 orang berpendapat bahwa tayangan OVJ mengandung kekerasan yang dapat merusak nilai moralitas. Sisanya justru berpendapat itu sah-sah saja, bahkan dengan adanya tayangan kekerasan menggunakan Styrofoam OVJ memiliki karakter komedi yang berbeda dengan komedi lainya, tayangan tersebut dianggap memiliki kebebasan berekspresi.
Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung seperti tayangan kekerasan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran. Hal ini tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 12 yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Namun, pada kenyataannya, tayangan jenis ini semakin berkembang di Indonesia. Faktanya penayangan OVJ yang semula ditayangkan dua kali dalam sepekan, kini menjadi lima kali dalam sepekan, dengan durasi 1 jam 15 menit. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kekerasan menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya.
Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi sama saja dengan menggantang asap di atas perapian. Stasiun televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun harus berlipat ganda. Bagaimana dengan instrumen hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun, media massa tidak mau diatur. Apalagi dalam pembatasan isi siaran, yang kerap dimaknai secara sepihak sebagai pembatasan kebebasan pers.
Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi penayangan sesuai dengan kaidah teknis objektivitas penayangan, tanpa mau repot-repot memikirkan dampak etis penayangannya. Kalau ada yang sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah mau disalahkan. Salahkan saja penontonnya, kenapa mau saja menonton, dan kenapa bisa sampai terpengaruh. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan orang tua) bertuliskan pembatasan usia penonton pada acara-acara "keras".
Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh mustahil untuk mengontrol pembatasan usia penonton. Menilik realitas semacam itu, penonton sendirilah kini yang harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi, sehingga tidak terseret arus dominan realitas televisi (berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya, dan tidak ada ruginya berpuasa dari tontonan televisi yang tidak mencerdaskan.
Indonesia juga perlu memiliki mediawatch sebanyak-banyaknya. Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-fungsi media dan mengadvokasi kepentingan publik. Tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengonsumsi televisi secara cerdas dan kritis. Masyarakat penyiaran Indonesia kini baru sebatas organisasi yang terdiri dari elite-elite media dan akademisi pemerhati media. Di masa depan, organisasi ini perlu didesentralisasi sampai ke tingkat lokal. Kiprahnya juga perlu diperluas sampai ke tingkat akar rumput dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dalam kerangka sistem kapitalisme global industri media massa saat ini, di mana materi menjadi penentu segalanya, hanya penonton selaku konsumenlah yang punya kekuatan untuk memaksa stasiun televisi menayangkan acara secara etis, dan lebih mencerdaskan penonton.
C.3. Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-anak
Tayangan kekerasan juga berpengaruh terhadap pola prilaku anak. beberapa efek yang di timbulkan oleh tayangan ini di antaranya sebagai berikut:
a. Jadi Agresor dan Tak Pedulian
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survei pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
b. Nonton untuk pelarian
Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual.
Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer.
Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain," ujar Singer.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV.
Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer.
Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.
Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."
Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu?
c. Orang Tua Contoh Model Anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
d. Waktu Ideal Untuk Anak-Anak Menonton TV
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan di atas, maka dapat di simpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tayangan berbau kekerasan yang marak di stasiun televisi di Indonesia saat ini berpengaruh dalam merubah pola perilaku dan budaya masyarakat Indonesia. Perubahan prilaku ini berlangsung dari hari ke hari, sehingga di khawatirkan akan terjadi pergeseran moral di kalangan masyarakat Indonesia.
2. Tayangan kekerasan di Indonesia semakin hari semakin marak. Hal ini di karenakan, televisi Indonesia belum mampu mendesain program yang lebih memiliki nilai-nilai edukatif.
3. Televisi Indonesia belum menggunakan manajemen media dengan menyesuaikan jam tayang program kekerasan tersebut.

B. Saran
Dari hasil pembahasan di atas, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Stasiun televisi Indonesia harus menyesuaikan jam tayang untuk program tayangan kekerasan ini
2. Harus adanya mediawatc yang mengontrol tayangan kekerasan di Indonesia. Lembaga ini tentunya bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. KPI harus lebih ketat mengawasi program siaran di seluruh stasiun televisi Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA..

Jamaluddin, Jajang dkk. 2005. Panduan Hukum Untuk Jurnalis. Jakarta. AJI Jakarta.
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta. Erlangga.
Uchjana Effendy, Onong. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. Cipta Aditya Bakti.
Google/Sejarah Perkembangan Televisi
Google/Sejarah Perkembangan Televisi Indonesia
Bataviase.co.id
Goggle/kasus kriminalita akibat tayangan kekerasan

Selasa, 12 Januari 2010

Agitasi dan Propaganda

Agitasi dan propaganda
Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.
Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah konsekuensi yang penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”. Seperti semua generalisasi yang seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami secara sangat harfiah. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai oleh agitasi jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari pernyataan Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).
Banyak gagasan ke sedikit orang
Lenin, dalam What is to be done, mengembangkan gagasan ini:
"Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan memakai bahasa lisan."
Mengenai pokok pikiran yang terakhir, Lenin keliru, karena ia terlalu berat-sebelah. Seperti yang ia sendiri nyatakan, sebelum dan sesudah ia menulis pernyataan di atas, sebuah surat kabar revolusioner bisa dan mesti menjadi agitator yang paling efektif. Tetapi ini merupakan masalah sekunder. Hal yang penting adalah bahwa agitasi, apakah secara lisan atau tertulis, tidak berupaya menjelaskan segala sesuatu. Jadi kita menyatakan, dan mesti menyatakan, bahwa para individu buruh tambang yang menggunakan pengadilan kapitalis untuk melawan NUM adalah buruh pengkhianat, bajingan (villains), dipandang dari segi perjuangan sekarang ini; betul-betul terpisah dari argumen umum tentang watak negara kapitalis. Tentu kita akan mengajukan argumen, tetapi kita berupaya ‘membangkitkan perhatian’, ‘mendorong’, ‘membangkitkan rasa tidak senang dan kemarahan’ terhadap pengadilan di sebanyak mungkin buruh. Ini mencakup mereka (mayoritas besar) yang belum menerima gagasan bahwa negara, negara apapun dan pengadilannya, pasti merupakan sebuah instrumen dari kekuasaan kelas.
Atau ambil sebuah contoh lain. Lenin berbicara tentang “ketidakadilan yang amat parah” (crying injustice). Namun, sebagai seorang pengikut Marx yang mendalam, ia betul-betul mengetahui bahwa tidak ada ‘keadilan’ atau ‘ketidakadilan’ yang terlepas dari kepentingan kelas. Di sini, ia menunjuk dan berseru pada kontradiksi antara konsep ‘keadilan’ (‘justice’ or ‘fairness’) yang dipromosikan oleh para ideolog masyarakat kapitalis dengan realitas yang terekspos dalam perjalanan perjuangan kelas. Dan hal itu mutlak benar dari sudut pandang agitasi.
Seorang propagandis, tentu saja, mesti menyelidiki secara lebih mendalam, mesti meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui berbagai masyarakat berkelas yang berbeda, isi kelasnya yang tak terhindarkan. Tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama dari agitasi. Para ‘marxis’ yang tidak memahami pembedaan ini menjadi korban dari ideologi borjuis, menjadi korban dari generalisasi yang lepas dari konteks waktu (timeless generalisations), yang mencerminkan masyarakat berkelas yang diidealisasikan. Yang paling penting, mereka tidak memahami secara konkrit bagaimana sebenarnya sikap kelas buruh berubah. Mereka tidak memahami peran pengalaman, sebagai contoh, pengalaman tentang peran polisi dalam pemogokan para buruh tambang. Mereka tidak memahami perbedaan antara agitasi dan propaganda.
Kedua hal itu penting, sangat diperlukan, tetapi keduanya tidak selalu bisa dikerjakan. Agitasi memerlukan kekuatan yang lebih besar. Tentu saja seorang individu terkadang bisa mengagitasi sebuah keluhan tertentu secara efektif, katakanlah, keluhan mengenai kurangnya sabun atau tissue toilet yang layak di sebuah tempat kerja tertentu, tetapi sebuah agitasi yang luas dengan sebuah fokus yang umum tidaklah mungkin tanpa sejumlah besar orang yang ditugaskan dengan pantas untuk melaksanakannya, tanpa sebuah partai.
Jadi apa pentingnya pembedaan tersebut sekarang ini? Untuk sebagian besar, para sosialis di Inggris tidak berbicara ke ribuan atau puluhan ribu orang. Kita sedang berbicara ke sejumlah kecil orang, biasanya berupaya meyakinkan mereka (to win them) melalui politik sosialis yang umum, dan bukan melalui agitasi massa. Jadi apa yang kita usulkan (arguing) pada dasarnya adalah propaganda. Tetapi di sinilah kebingungan muncul. Karena terdapat lebih dari satu jenis propaganda. Ada sebuah pembedaan antara propaganda abstrak dan jenis propaganda yang diharapkan dapat mengarah ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau realistik.
Propaganda abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi tidak terkait dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang ada di antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai contoh, menyatakan bahwa di bawah sosialisme sistem upah akan dihapuskan adalah mutlak benar, menempatkan usulan yang seperti itu kepada para buruh sekarang ini bukanlah agitasi, melainkan propaganda dalam bentuk yang paling abstrak. Begitu pula, usulan terus-menerus (constant demand) untuk sebuah pemogokan umum, terlepas dari apakah prospek untuk melakukannya bersifat riil dalam situasi yang sekarang, mengarah tidak ke agitasi, melainkan ke penarikan diri (abstaining) dari perjuangan yang riil di sini dan sekarang.
Di sisi lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa kelompok-kelompok sosialis yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi kelompok-kelompok buruh yang besar sekarang ini di hampir setiap keadaan. Tetapi hal itu juga mengasumsikan bahwa terdapat argumen tentang isu-isu spesifik, yang dapat dicoba untuk dibangun oleh para sosialis. Jadi seorang propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil (tokens) yang diberikan oleh bikorasi serikat buruh. Jadi mereka akan mengusulkan, misalnya, peningkatan ongkos rata-rata setiap produk (a flat rate increase), pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full claim, all out...strike) dan bukan pemogokan yang selektif, dsb.
Menyeimbangkan agitasi dengan propaganda secara benar (Getting the balance right)
Semua ini bukanlah agitasi dalam arti yang dibicarakan oleh Lenin, hal itu adalah satu atau dua orang sosialis yang memunculkan serangkaian gagasan tentang bagaimana untuk menang. Tetapi hal itu juga bukan propaganda abstrak karena hal itu terkait dengan sebuah perjuangan yang riil dan karenanya bisa terkait dengan minoritas buruh yang cukup besar di suatu wilayah. Ini berarti bahwa propaganda realistis dapat membangun hubungan (strike a chord) dengan sekelompok orang yang jauh lebih besar daripada mereka yang sepenuhnya terbuka untuk gagasan-gagasan sosialis. Bahwa sekarang ini hanya sekelompok orang yang sangat kecil yang akan terbuka untuk semua gagasan-gagasan sosialisme. Kelompok yang lebih besar tidak akan seperti itu, tetapi masih bisa menerima banyak propaganda dari kaum sosialis untuk tidak mempercayai para pejabat, untuk mengorganisir di lapisan bawah (the rank and file) dan sebagainya.
Pentingnya pembedaan ini ada dua (twofold). Para sosialis yang mempercayai bahwa mereka harus melakukan propaganda di kelompok-kelompok diskusi mereka yang kecil, dan mengagitasi di tempat kerja mereka, sangat mungkin menaksir terlalu tinggi (overestimate) pengaruh mereka di sejumlah besar buruh dan dengan demikian kehilangan kesempatan untuk membangun basis di sekitar sejumlah kecil pendukung. Mereka yang percaya bahwa mereka hanya harus melakukan propaganda abstrak dalam diskusi-diskusi mereka dengan para sosialis yang lain dan di tempat kerja mereka bisa mengambil sikap menarik diri ketika perjuangan yang riil benar-benar meletus.
Dengan melakukan propaganda realistis pada sebuah periode di mana agitasi massa secara umum tidak mungkin, kaum sosialis akan jauh lebih mungkin untuk dapat menghindari kedua jebakan tersebut.

Sumber: What do we mean by ...?, Socialist Worker Review, No.68, Sep 1968, hlm.10;
Disalin & diberi tanda baca oleh Einde OCallaghan untuk Marxists Internet Archive;

Proses Komunikasi Intra Personal

Dalam komunikasi intrapersonal, akan dijelaskab bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya dan menghasilkannya kembali. Proses pengolahan informasi, yang di sini kita sebut komunikasi intrapersonal meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir.

1.1 Sensasi
Sensasi berasal dari kata “sense” yang artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Menurut Dennis Coon, “Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal. Simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.”
Definisi sensasi, fungsi alat indera dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting. Kita mengenal lima alat indera atau pancaindera. Kita mengelompokannya pada tiga macam indera penerima, sesuai dengan sumber informasi. Sumber informasi boleh berasal dari dunia luar (eksternal) atau dari dalam diri (internal). Informasi dari luar diindera oleh eksteroseptor (misalnya, telinga atau mata). Informasi dari dalam diindera oleh ineroseptor (misalnya, system peredaran darah). Gerakan tubuh kita sendiri diindera oleh propriseptor (misalnya, organ vestibular).

1.2 Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Sensasi adalah bagian dari persepsi. Persepsi, seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor lainnya yang memengaruhi persepsi, yakni perhatian.

Perhatian (Attention)
Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesdaran pada saat stimuli lainnya melemah (Kenneth E. Andersen)

Faktor Eksternal Penarik Perhatian
Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor situasional personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perharian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter) dan sifat-sifat yang menonjol, seperti :

* Gerakan secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak.
* Intensitas Stimuli, kita akan memerharikan stimuli yang menonjol dari stimuli yang lain
* Kebauran (Novelty), hal-hal yang baru dan luar biasa, yang beda, akan menarik perhatian.
* Perulangan, hal-hal yang disajikan berkali-kali bila deisertai sedikit variasi akan menarik perhatian.

Faktor Internal Penaruh Perhatian
Apa yang menjadi perhatian kita lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan kita melihat apa yang ingin kita lihat, dan mendengar apa yang ingin kita dengar. Perbedaan ini timbul dari faktor-faktor yang ada dalam diri kita. Contoh-contoh faktor yang memengaruhi perhatian kita adalah :
* Faktor-faktor Biologis
* Faktor-faktor Sosiopsikologis.
* Motif Sosiogenis, sikap, kebiasaan , dan kemauan, memengaruhi apa yang kita perhatikan.

Kenneth E. Andersen, menyimpulkan dalil-dalil tentang perhatian selektif yang harus diperhatikan oleh ahli-ahli komunikasi.

1.Perhatian itu merupakan proses aktif dan dinamis, bukan pasif dan refleksif.
2. Kita cenderung memerhatikan hal-hal tertentu yang penting, menonjol, atau melibatkan kita.
3. Kita menaruh perhatian kepada hal-hal tertentu sesuai dengan kepercayaan, sikat, nilai,
kebiasaan, dan kepentingan kita.
4. Kebiasaan sangat penting dalam menentukan apa yang menarik perhatian, tetapi juga apa yang secara potensial akan menarik perhatian kita.
5. Dalam situasi tertentu kita secara sengaja menstrukturkan perilaku kita untuk menghindari terpaan stimuli tertentu yang ingin kita abaikan
6. Walaupun perhatian kepada stimuli berarti stimuli tersebut lebih kuat dan lebih hidup dalam kesadaran kita, tidaklah berarti bahwa persepi kita akan betul-betul cermat.
7. Perhatian tergantung kepada kesiapan mental kita,
8. Tenaga-tenaga motivasional sangat penting dalam menentukan perhatian dan persepsi.
9. Intesitas perhartian tidak konstan
10. Dalam hal stimuli yang menerima perhatian, perhatian juga tidak konstan.
11. Usaha untuk mencurahkan perhatian sering tidak menguntungkan karena usaha itu sering menuntut perhatian
12. Kita mampu menaruh perhatian pada berbagai stimuli secara serentak.
13. Perubahan atau variasi sangat penting dalam menarik dan memertahankan perhatian

Faktor-faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang termasuk apa yang ingin kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memeberikan respons pada stimuli itu.

Kerangka Rujukan (Frame of Reference)
Sebagai kerangka rujukan. Mula-mula konsep ini berasal dari penelitian psikofisik yang berkaitan dengan persepsi objek. Dalam eksperimen psikofisik, Wever dan Zener menunjukan bahwa penilaian terhadap objek dalam hal beratnya bergantung pada rangkaian objek yang dinilainya. Dalam kegiatan komunikasi kerangka rujukan memengaruhi bagaimana memberi makna pada pesan yang diterimanya.

Faktor-faktor Struktural yang Menentukan Persepsi
Faktor-faktor structural berasal semata-mara dari sifar stimuli fisik dan ekfek-efek saraf yang ditimbulkanny pada system saraf individu. Para psikolog Gestalat, seperti Kohler, Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat structural. Prinsip-prinsip ini kemundian terkenal dengan nama teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, mempersepsi sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan. Dengan kata lain, kita tidak melihat bagian-bagiannya. Jika kia ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah; kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan
Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi, menjadi empat bagian :


1. Dalil persepsi yang pertama : Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Berarti objek-objek yang mendapatkan tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi
2. Dalil persepsi yang kedua : Medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interprestasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi.
3. Dalil persepsi yang ketiga : Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan diperngaruhi oleh keanggotaan kelompolmua dengan efek berupa asimilasi atau kontras.
4. Dalil persepsi yang keempat : Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya betul-betul bersifat structural dalam mengelompokkan objek-objek fisik, seperti titik, garis, atau balok.
Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni structural; sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan dengan individu yang lainnya. Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh komunikator untuk meningkatkan kredibilitasnya, atau mengakrabkan diri dengan orang-orang yang punya prestise tinggi. Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditangapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Kecenderungan untuk mengelompokan stimuli berdasarkan kesamaan dan kedekatan adalah hal yang universal.

1.3 Memori
Dalam komunikasi Intrapersonal, memori memegang peranan penting dalam memengaruhi baik persepsi maupun berpikir. Memori adalah system yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya (Schlessinger dan Groves). Memori meleawai tiga proses:

1. Perekaman (encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor inera dan sirkit saraf internal.
2. Penyimpanan (strorage) adalah menentukan berapa lama informasi itu berada berserta kita, dalam bentuk apa, dan di mana.
3. Pemanggilan (retrieval), dalam bahasa sehari-hari, mengingat lagi, adalah menggunakan informasi yang disimpan

Jenis-jenis Memori
Pemanggilan diketahui dengan empat cara :

1. Pengingatan (Recall), Proses aktif untuk menghasilkan kembali fakta dan informasi secara verbatim (kata demi kata), tanpa petunjuk yang jelas.
2. Pengenalan (Recognition), Agak sukar untuk mengingat kembali sejumlah fakta;lebih mudah mengenalnya.
3. Belajar lagi (Relearning), Menguasai kembali pelajaran yang sudah kita peroleh termasuk pekerjaan memori.
4. Redintergrasi (Redintergration), Merekontruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memori kecil.

Mekanisme Memori

Ada tiga teori yang menjelaskan memori :

1. Teori Aus (Disuse Theory), memori hilang karena waktu. William James, juga Benton J. Underwood membuktikan dengan eksperimen, bahwa “the more memorizing one does, the poorer one’s ability to memorize” – makin sering mengingat, makin jelek kemampuan mengingat.
2. Teori Interferensi (Interference Theory), Memori merupakan meja lilin atau kanvas. Pengalaman adalah lukisan pada menja lilin atau kanvas itu. Ada 5 hal yang menjadi hambatan terhapusnya rekaman : Interferensi, inhibisi retroaktif (hambatan kebelakang), inhibisi proaktif (hambatan kedepan), hambatan motivasional, dan amnesia.
3. Teori Pengolahan Informasi ( Information Processing Theory), menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada sensory storage (gudang inderawi), kemudian masuk short-term memory (STM, memory jangka pendek; lalu dilupakan atau dikoding untuk dimasukan pada Long-Term Memory (LTM, memori jangka panjang)

1.4 Berpikir

Apakah berpikir itu?
Dalam berpikir kita melibat semua proses yang kita sebut sensasi, persepsi, dan memori. Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsure-unsur lingkungan dengan menggunakan lambing-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak. Berpikir menunjukan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa. Berpikir kita lakukan untuk memahami relaitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving). Dan menghasilkan yang baru (creativity).

Bagaimana Orang Berpikir?

Ada dua macam berpikir:

1. berpikir autistik, dengan melamun, berfantasi, menghayal, dan wishful thinking. Dengan berpikir autistic prang melarikan diri dari kenyataan dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis.
2. berpikir realistic, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyara.
3. Floyd L. Ruch, menyebutkan tiga macam berpikir realistic :
1. Berpikir deduktif : mengambil kesimpulan dari dua pernyataan, dalam logika disebutnya silogisme.
2. Berpikir Induktif : Dimulai dari hal-hal yang khusu kemundian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi.
3. Berpikir evaluatif : berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan, kita tidak menmbah atau mengurangi gagasan, namun menilainya menurut kriteria tertentu.

Menetapkan Keputusan (Decision Making)
Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Keputusan yang kita ambil beraneka ragam. Tanda-tanda umumnya:
1. Keputusan merupakan hasil berpikir, hasil usaha intelektual
2. keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternative
3. keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaanya boleh ditangguhkan atau dilupakan.

Faktor-faktor personal amat menentukan apa yang diputuskan, antara lain :

1. Kognisi, kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki
2. Motif, amat memengaruhi pengambilan keputusan
3. Sikap, juga menjadi faktor penentu lainnya.

Memecahkan persoalan (Problem Solving)

Proses memecahkan persoalan berlangsung melalui lima tahap :

1. Terjadi peristiwa ketika perilaku yang biasa dihambat Karena sebab-sebab tertentu
2. Anda mencoba menggali memori anda untuk mengatahui cara apa saja yang efektif pada masa lalu
3. pada tahap ini, anda mencoba seluruh kemungkinan pemecahan yang pernah anda ingat atau yang dapat anda pikirkan.
4. Anda mulai menggunakan lambing-lambang vergal atau grafis untuk mengatasi masalah
5. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran anda suatu pemecahan. Pemecahan masalah ini biasa disebut Aha-Erlebnis (Pengalaman Aha), atau lebih lazim disebut insight solution.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Proses Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah dipengaruhi faktor-faktrot situasional dan personal. Faktor-faktor situasional terjadi, misalnya, pada stimulus yang menimbulkan masalah. Pengaruh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis terhadap proses pemecahan masalah. Contohnya :

1. Motivasi. Motivasi yang rendah lebih mengalihkan perhatian. Motivasi yang tinggi membatasi fleksibilitas.
2. Kepercayaan dan sikap yang salah. Asumsi yang salah dapat menyesatkan kita.
3. Kebiasaan. Kecenderungan untuk memertahankan pole berpikir tertentu, atau misalnya
elihat masalah dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas, mengahambat pemecahan masalah yang efisien.
4. Emosi. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi mewarnai cara berpikir kita. Kita tidak pernah berpikir betul-betul secara objektif.

Berpikir Kreatif (Creative Thinking)

Berpikir kreatif menurut James C. Coleman dan Coustance L. Hammen, adalah “thinking which produces new methods, new concepts, new understanding, new invebtions, new work of art.” Berpikir kreatif harus memenui tiga syarat:

1. Kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistic sangat jarang terjadi. Tetapi kebauran saja tidak cukup.
2. Kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis.
3. Kreativitas merupakan usaha untuk memertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin.
Ketika orang berpikir kreatif, cara berpikir yang digunakan adalah berpikir analogis. Guilford membedakan antara berpikir kreatif dan tak kreatif dengan konsep konvergen dan divergen. Kata Guilford, orang kreatif ditandai dengan cara berpikir divergen. Yakni, mencoba menghasilkan sejumlah kemungkinan jawaban. Berpikir konvergen erat kaitannya dengan kecerdasan, sedangkan divergen kreativitas. Berpikir divergen dapat diukur dengan fluency, flexibility, dan originality.

Proses Berpikir Kreatif

Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif :

1. Orientasi : Masalah dirumuskan, dan aspek-aspek masalah diidentifikasi
2. Preparasi : Pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah.
3. Inkubasi : Pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar kita.
4. Iluminasi : Masa Inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah. Ini menimbulkan Aha Erlebnis.
5. Verifikasi : Tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahan keempat.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif tumbuh subur bila ditunjang oleh faktor personal dan situasional. Menurut Coleman dan Hammen, faktor yang secara umum menandai orang-orang kreatif adalah :

1. Kemampuan Kognitif : Termasuk di sini kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan, dan fleksibilitas kognitif
2. Sikap yang terbuka : orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal maupun eksternal.
3. Sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri : orang kreatif ingin menampilkan dirinya semampu dan semaunya, ia tidak terikat oleh konvensi-kovensi. Hal ini menyebabkan orang kreatif sering dianggap “nyentrik” atau gila.

Selain faktor lingkungan psikososial, beberapa peneliti menjukan adanya faktor situasional lainnya. Maltzman menyatakan adanya faktor peneguhan dari lingkungan. Dutton menyebutkan tersedianya hal-hal istimewa bagi manusia kreatif, dan Silvano Arieti menekankan faktor isolasi dalam menumbuhkan kreativitas.

Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

Dewasa ini ada dua macam psikologi sosial. Yang pertama adalah Psikologi sosial (dengan huruf P besar) dan yang kedua psikologi Sosial (dengan huruf S besar).. Ini menunjukkan dua pendekatan dalam pslkologi , sosial: ada yang menekankan faktor-faktor psikologis dan ada yang menekankan faktor-faktor sosial; atau dengan istilah lain: faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu (faktor personal), dan faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar diri individu (faktor environmental).
Manakah di antara dua pendapat ini yang benar – dengan menggunakan istilah Edward E. Sampson (1976) – antara perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perspective) dengan perspekt{f yang berpusat pada situasi (situation-centered perspective). Seperti juga konsepsi tentang manusia, yang benar tampaknya interaksi di antara keduanya. Karena itu, kita akan membahasnya satu per satu, dimulai dengan perspektif yang berpusat pada persona.
Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan factor-faktor internal apakah, baik berupa sikap, instink, motif, kepribadian, sistem, kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar ada dua faktor: faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.
Faktor Biologis
Manusia adalah makhluk biologis yang tidak berbeda dengan hewan yang lainnya. Ia lapar kalau tidak makan selama dua puluh jam, kucing pun demikian. Ia memerlukan lawan jenis untuk kegiatan reproduktifnya, begitu pula kerbau. Ia melarikan diri kalau melihat musuh yang menakutkan, begitu pula monyet. Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Bahwa warisan biologis manusia menentukan perilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orang tuanya. Begitu besarnya pengaruh warisan biologis ini sampai muncul aliran baru, yang memandang segala kegiatan manusia, termasuk agama, kebudayaan, moral, berasal dari struktur biologinya. Aliran ini menyebut dirinya sebagai aliran sosiobiologi (Wilson, 1975).
Ada beberapa peneliti yang menunjukkan pengaruh motif biologis terhadap perilaku manunusia. Tahun 1950 Keys dan rekan-rekannya menyelidiki pengaruh rasa lapar, Selama 6 bulan, 32 subjek bersedia menjalani eksperimen setengah lapar. Selama eksperimen terjadi perubahan kepribadian yang dramatis. Mereka menjadi mudah tersinggung, sukar bergaul, dan tidak bisa konsentrasi. Pada akhir minggu ke-25, makanan mendominasi pikiran, percakapan, dan mimpi. Laki-laki lebih senang menempelkan gambar coklat daripada gambar wanita cantik. Kekurangan – tidur juga telah dibuktikan rneningkatkan sifat mudahtersinggung clan tugas-tugas yang kompleks atau memecahkan persoalan. Kebutuhan.akan rasa aman, menghindari rasa sakit, dapat menghambat kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Walaupun demikian, Manusia bukan sekadar makhluk biologis. Kalau sekadar makhluk bialogis, ia tidak berbeda dengan binatang yang lain. Kura-kura Galapagos yang hidup sejak sekian ribu tahun yang lalu bertingkah laku yang sama sekarang ini. Tetapi, perilaku orang Jawa di zaman Diponegoro.sudah jauh berbeda dengan perilaku mereka di zaman Suharto. Menurut Marvin Harris, antropolog terkenal dari University of Florida, agak sukar kita menjelaskan perubahan kultural ini pada sebab-sebab biologis (Rensberger, Dialogue, 1/1984:38). Ini hanya dapat dijelaskan dengan melihat komponen-komponen lain dari manusia; yakni faktorfaktor sosiopsikologis.
Faktor faktor Sosiopsikologis
Karena manusia makhluk sosial, dari proses sosial ia memperoleh bcberapa karakteristik yang mcmpengarahi perilakunya: Kita dapat mengklasifikasinya ke dalam tiga kamponen komponen afektif, komponen kognitif, dan kornpwren konatif. Komponen yang pertama> yang merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan -dengan apa yang diketahui manusia. Komporten konatif adalah aspek volisional, ymg berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Kita mulai dengan komponen afektif yang terdiri dari motif sosiogenis, sikap dan emosi.
Motif Sosiogenesis
Motif sosiogenis, sering juga disebut motif sekufider sebagai lawan motif primer (motif biologis), sebetulnya bukan motif “anak bawang”. Peranannya dalam membentuk perilaku sosial bahkan sangat menentukan. Berbagai klasifikasi motif sosiogenis disajikan di bawah.
W . I. Thomas dan Florian Znaniecki:
l. Keinginan memperoleh pengalaman baru;
2. Keinginari untuk mendapat respons;
3. Keinginan akan pengakuati;
4. Keinginan akan rasa amab:
David McCleiland:
l . Kebutuhatt berprestasi(need for achieveinent);
2. Kebutuhan akan kasih sayaag (need for afflliation);
3. Kebutuhan berkuasa (need for power);
Abraham Maslow:
1. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs);
2. Kebutuhan akan keterikatan dan cinta (belongingness and love needs);
3. Kebutuhan akan Fengbortik(esteent needs)
4. Kebutuhan untuk pemenuban diri (Self –actualization)
Melvin H. Marx:
1. Kebutuhan organismis
-motif ingin tahu
- motif kompetensi
- motif prestasi
2. Motif-motif social
- motif kasih sayang
- motif kekuasaan
- motif kebebasan
Secara singkat, motif-motif sosiogenesis dapat disebutkan sebagai berikut,
1. Motif ingin tahu.
Mengerti, menata dan menduga. Setiap orang berusaha mengerti (memahami) arti dari dunianya. Kita memerlukan kerangka rujukan (frame of freference) untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesui.
2. Motif kompetensi.
Setiap orang ingin membuktikan bahwaia mampu mengatasi persoalan apapun. Perasaan mampu amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial, dan emosional.
3. Motif cinta
Sanggup mencintai dan dicintai adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian. Orang ingin diterima di dalam kelompoknya sebagai anggota sukarela dan bukan yang sukar rela.
4) Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari indentitas.
Erat kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi di dunia. Kita ingin kehadiran kita bukan saja dianggap bilangan, tetapi juga diperhitungkan. Karena itu, bersamaan dengan kebutuhan akan harga diri, orang mencari identitas dirinya. Hilangnya identitas diri akan menimbulkan perilaku yang patologis (penyakit): impulsif, gelisah, mudah terpengaruh, dan sebagainya.
5) Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan.
Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya. Termasuk ke dalam motif ini ialah motifmotif keagamaan. Bila manusia kehilangan nilai, tidak tahu apa tujuan hidup sebenarnya, ia tidak memiliki kepastian untuk bertindak. Dengan demikian, ia akan lekas putus asa dan kehilangan pegangan.
6)Kebutuhan akan pemenuhan diri.
Kita bukan saja ingin mempertahankan kehidupan, kita juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan kita; ingin memenuhi potensi-potensi kita. Dengan ucapan Maslow sendiri. “What a man can be, he must be.” Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagai bentuk: (1) mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi kita’ dengan cara yang kreatif konstruktif, misalnya dengan seni, musik, sains, atau hal-hal yang mendorong ungkapan diri yang kreatif; (2) memperkaya kualitas. kehidupan dengan memperluas rentangan dan kualitas pengalaman serta pemuasan, misalnya dengan jalan darmawisata; (3) membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar kita; (4) berusaha “memanusia”, menjadi persona yang kita dambakan (Coleman, 1976:105).
Daftar motif secara terperinci akan disajikan pada bab 6 ketika kita membicarakan imbauan motif.
Sikap
Sikap adalah konsep yang paling penting dalam psikologi sosial dan yang paling banyak didefinisikan. Ada yang menganggap sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar (Sherif dan Sherif, 1956:489): Ada pula yang melihat sikap sebagai kesiapan saraf (neural settings) sebelum memberikan respons (Allport, 1924). Dari berbagai definisi kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap haruslah diikuti oleh kata “terhadap”, atau “pada” objek sikap. Bila ada orang yang berkata, “Sikap saya positif,” kita harus mempertanyakan “Sikap terhadap apa atau siapa?”
Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekadar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharap–kan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari (Sherif dan Sherif, 1956:489). Bila sikap saya positif terhadap ilmu, saya akan setuju pada proyek-proyek pengembangan ilmu, berharap agar orang menghargai ilmu, dan menghindari orang-orang yang meremehkan ilmu.
Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang merigalami perubahan.
Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga Bern memberikan definisi sederhana: “Attitudes are likes and dislikes.” (1970:14)
Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah. Beberapa orang sarjana menganggap sikap terdiri dari komponen kognitif, afektif, dan behavioral.
Emosi
Emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisiologis. Bila orang yang Anda cintai mencemoohkan Anda, Anda akan bereaksi secara emosional karena Anda mengetahui makna cemoohan itu (kesadaran). Jantung Anda akan berdetak lebih cepat, kulit memberikan respons dengan mengeluarkan keringat, dan napas terengah-engah (proses fisiologis). Anda mungkin membalas cemoohan itu dengan kata-kata keras atau ketupat bangkahulu (keperilakuan).
——-catatan: Artikel ini disarikan dari buku Psikologi komunikasi (Jalaludin Rakhmat)