Minggu, 14 Juni 2009

Otonomi Daerah

Definisi Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Dasar Historis
Seiring dengan tuntutan reformasi yang dikumandangkan sejak tahun 1998, maka telah terjadi perubahan dalam sistem penyelenggara pemerintahan pusat maupun daerah. Skenario kebijakan untuk memenuhi tuntutan reformasi meliputi: Pertama, Menata kembali pembagian kewenangan antara tingkatan pemerintahan pusat dan daerah. Kedua, Memberikan diskresi (kebebasan) kepada daerah untuk menetapkan kebijakan dalam bidang penatan kelembagaan, kepegawaian, pengelolaan keuangan daerah, revitalisasi peran DPRD, serta optimalisasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dengan dikumandangkannya UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no 25 tahun 1999 tentang primbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, merupakan momentum yang sangat strategis bagi daerah untuk mengurangi ketergantungannya kepada pusat. Kedua undang-undang tersebut, telah mengisyaratkan tingginya diskresi daerah dalam mengatur dan mengurus otonominya sendiri.
Untuk itu aparat daerah sangat perlu memikirkan strategi dalam mempersiapkan diri mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam kedua UU tersebut, sekaligus menyusun berbagai antusipasi dalam upaya memberdayakan pemerintahan daerah. Pada sisi lain, adanya UU no 22 tahun 1999 dan UU no 25 tahun 1999, menutut pemerintah pusat untuk menyikapinya dengan arif dan bijaksana.
Dasar Teoretis
KEBIJAKAN desentralisasi merupakan salah satu instrumen yang digunakan pelayanan publik, untuk mewujudkan kesejahteraan dan demokrasi di Tingkat Daerah. Bila kesejahteraan dan proses demokratsisasi di daerah berhasil, maka secara akumulatif diharapkan dapat menyumbang dan mendukung peningkatan kesejahteraan dan terwujudnya masyarakat madani secara nasional.
Sehubungan dengan ini, Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini sedang giat-giatnya menyelenggarakan otonomi daerah, yang didasari oleh UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah, dan telah direvisi atau diganti dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan menjadi UU No 22 tahun 1999 menjadi UU No 32 tahun 2004, diharapkan dapat segera menghasilkan hakekat dari adanya otonomi daerah. Otonomi Daerah hingga saat ini, relatif masih dinikmati oleh Birokrasi dan politisi. Masyarakat yang seharusnya menikmati berkah otonomi daerah, justru semakin sulit memahami makna hakikinya.
Disadari atau tidak disadari masyarakat seakan-akan dipertontonkan dengan suatu pemerintahan yang sedang berebut kekuasaan, bahkan rebutan rejeki, yang cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan nasional.
Cara pandang yang mengutamakan Persatuan dan Kesatuan Bangsa serta Kesatuan Wilayah sebagai inti landasan visional wasantara, nampaknya belum terimplementasikan sesuai dengan harapan.
Oleh karena itu, diperlukan konsep pemikiran wasantara untuk lebih dipahami dan ditingkatkan, terutama bagi aparat daerah penentu kebijaksaan, sehingga penyelenggaraan otonomi daerah lebih terarah dan dapat dirasakan serta hasilnya dapat dinikmati bersama masyarakat daerah dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, sesuai dengan filosofi dasar otonomi daerah.
Filosofis
Untuk lebih memperjelas dan mempertegas filosofi dasar otonomi daerah dan birokrasi Pemerintahan Daerah, telah diterbitkan UU no 32 tahun 2004 dan UU no 33 tahun 2004sebagai pengganti UU 22 tahun 1999 dan UU no 25 tahun 1999. Dengan adanya UU no 32 tahun 2004 dan UU no 33 tahun 2004 ini, diharapkan dapat diterbitkan konsep-konsep rencana tindakan strategis yang lebih reformatif yang bersifat antisipatif terhadap tuntunan reformasi mayarakat, untuk menciptakan ”clean and accountable goverment”, yang tahu apa yang harus diperbuat dan berbuat, sesuai atauran (UU) yang telah disepakati.
. Diharapkan dengan adanya otonomi daerah, pembangunan kewilayahan Indonesia bisa lebih cepat dipacu. Ini disebabkan adanya peran daerah yang lebih besar ketimbang peran pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya memainkan peranan sebagai fasilisator dan dinamisator. Sementara pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota , menjadi perencana, pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing
Nilai dan Manfaat
Manfaat otonomi daearah adalah memberikan kerangka acuan bagi perilaku aktor. Aktor yang 'otonom' adalah yang bisa mengabil keputusan sendiri dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuannya sendiri. Konsep otonomi memang menempatkan diri sendiri (self) sebagai acuan berfikir, namun keputusan aktor yang otonom tidak harus bersifat selfish (mementingkan diri sendiri). Perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri ini disebutkan sebagai autarkhi.
(Purwo Santoso)*
. Diharapkan dengan adanya otonomi daerah, pembangunan kewilayahan Indonesia bisa lebih cepat dipacu. Ini disebabkan adanya peran daerah yang lebih besar ketimbang peran pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya memainkan peranan sebagai fasilisator dan dinamisator. Sementara pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota , menjadi perencana, pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing
Pelaksanaan otonomi daerah dapat membuka kesempatan dan meningkatkan potensi daerah, terutama di bidang perdagangan barang dan jasa. Kenyataannya, selama 30 tahun terakhir sistem yang sentralistik yang dianut Indonesia telah menghasilkan ketimpangan yang sangat besar diberbagai sektor ekonomi.
, Penerapan otonomi daerah akan melepaskan dana yang saat ini tersimpan, dan menyalurkannya ke daerah, dan juga memicu kreativitas dan ide baru oleh para pelaku di daerah. Dengan demikian, hal itu pada akhirnya memberikan manfaat yang sungguh berarti pada perkembangan Indonesia secara keseluruhan.
Oleh: James Castle
Terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi ; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab bersama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat seperti mempermudah dan mempercepat penyelesaian masalah dan tantangan yang muncul secara lokal, mengurangi beban persoalan di pusat dan memperluas partisipasi bagi masyarakat lokal dan daerah. Setiap manfaat tersebut memiliki kondisi atau persyaratan-persyaratan tertentu agar dapat diperoleh melalui upaya desentralisasi.
Sosiologi Otonomi daerah
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom dimana setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda.Ada yang menjadikan status social secara fungsional hanya bersifat fakultatif

Contoh kasus.
keberanian Bupati Morowali mengajukan pemekaran daerah langsung ke Mendagri tanpa melalui Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, yang dianggap oleh berbagai kalangan telah menelikung Gubernur, sebagaimana dilansir Radar Sulteng Medio September 2003, juga keberanian Bupati Parimo mencalonkan diri dalam bursa pemilihan Bupati tanpa izin dari Gubernur dan yang bersangkutan memilih meminta izin langsung kepada Mendagri dan hal yang sama telah dilakukan Bupati Morowali beberapa tahun yang lalu.
Fenomena demikian menunjukan adanya gejala bahwa peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dipahami oleh sebahagian orang secara fungsional hanya bersifat fakultatif. Kasus-kasus diatas menunjukan begitu kuatnya pemahaman itu dikalangan sebahagian Bupati di Provinsi Sulawesi tengah.
Menariknya, dalam berbagai kejadian itu Gubernur menanggapinya dengan sikap kebapakan, walaupun orang-orang disekitarnya sudah kebakaran jenggot mendorong-dorong Gubernur untuk mengambil tindakan represif, tetapi Gubernur tetap bisa menahan diri. Sikap semacam itu, tidak berlebihan bila penulis mengatakan bahwa dalam suasana di negara kita yang morat-marit yang ditandai dengan menurunnya sikap-sikap kepemimpinan yang terpuji dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, Gubernur Sulawesi Tengah justru dapat tampil memperlihatkan sikap-sikap terpuji, seperti mebiarkan orang-orang yang ada dijajarannya untuk berekspresi yang menurut orang bersangkutan baik bagi dirinya dan mempunyai kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Dalam konteks demikian, seakan-akan tanpa disadari Gubernur ingin mengatakan kepada masyarakat dan para profesional dibidang hukum bahwa memaknai hukum dalam pelaksanaan undang-undang pemerintahan daerah tidak sekedar hanya memahaminya dari sisi normatif, tetapi juga dari sisi sosiologis dan filosofisnya.
Kalau kita memaknai hukum hanya dari sisi normatifnya, maka kita akan terperangkap dalam terminologi salah dan banar. Karena memahami hukum dengan menggunakan pendekatan normatif memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif sifatnya preskriptif, yaitu; bersifat menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Output dari pemaknaan hukum (baca undang-undang) semacam ini akan melahirkan suatu keadaan dimana salah satu pihak akan diposisikan sebagai yang salah atau yang benar dengan berselimutkan kepastian hukum. Tentu kita semua menyadari bahwa bagi mereka yang dianggap salah dapat menganggap dirinya benar dan bagi yang menganggap benar mungkin dinilai orang lain bahwa dia salah, akhirnya persoalan bukan selesai tetapi tambah rumit. Pada hal maksudnya untuk kepastian hukum, tetapi justru tambah jauh dari tujuan hukum yang lebih utama, yakni ketertiban. Dengan memaknai hukum secara normatif (positivistik) saja akan mengundang perdebatan yang bersifat kursial, karena obyek formal dari hukum dapat dipandang dari berbagai sudut pandang tergantung orang mau melihatnya dari mana dan ketika kita mau memaknainya hukum itu tidak bisa bebas nilai, lagi pula hukum normatif masih merupakan harapan-harapan perikelakuan. Dalam kondisi demikian, hukum akan mudah digunakan untuk menjastifikasi kepentingan kelompok atau orang tertentu yang berkuasa. Penulis akui bahwa dalam hal-hal tertentu diperlukan kepastian hukum, tetapi janganlah kepastian hukum mengorbankan kepentingan umum. Di dalam hukum pidana sekalipun sangat kental sifat normatifnya-asas legalitas, masih dikenal "asas oportunitas. Hal ini menunjukan kepada kita bahwa kepastian hukum tidak dapat begitu saja diterapkan tanpa memperhatikan kepetingan yang lebih besar. Begitu pula dalam lapangan hukum administrasi misalnya, pemberhentian Pimpinan STPDN yang belum selesai masa jabatannya. Jadi penulis dapat mengatakan bahwa tidak selamanya yang sesuai hukum itu (rechtsmatigeheid) bermanfaat (doelmatigeheid) bagi masyaratkat, kenapa?, karena hukum itu tertati-tati mengikuti perkembangan tujuan-tujuan dan harapan-harapan masyarakat.
Untuk mengikuti perkembangan tujuan-tujuan dan keinginan masyarakat, maka memaknai hukum tidak cukup dari sisi noramatif-positivistik, tetapi harus dilengkapi lagi pemaknaan hukum dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Dengan pendekatan sosiologis, kita akan terlepas dari perangkap terminologi "salah atau benar". Kalaupun terpaksa kita harus menentukan salah atau benar indikatornya berada dalam dunia kenyataaan bukan dunia harapan-harapan, yakni; akan dilihat dari segi kemanfaatannya (doelmatigeheid) setelah bekerjanya hukum itu. Semakin besar manfaatnya kepada masyarakat luas, maka semakin jelas pula bahwa itu benar adanya, karena hukum itu telah memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan hukum mustinya pemerintah mengendalikan masyarakat kearah pada keadaan yang lebih baik, yaitu hidup yang beradab dengan penuh kesejahteraan. Pemerintah harus berusaha keras memanfaatkan hukum (undang-undang) sebagai sumber daya dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Bisa dibayangkan kalau kita terlalu berpikiran normatif (positivistik) eksistensi bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka akan dipertanyakan, bahkan para pejuang kita dahulu dapat dianggap melakukan tindakan makar, karena menumbangkan pemerintahan yang sah yaitu pemerintahan Hindia Belanda. Jika kita konsisten menggunakan paradigma normatif-positivis dengan ciri formal-legalistik misalnya konsep stufenbau Theory dari Hans Kelsen, menurut Achmad Ali Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, berarti keseluruhan hasil dari proklamasi 17 Agustus 1945 hingga detik ini adalah batal "demi hukum" . Namun syukurlah bahwa dalam kenyataannya pandangan positivis-normatif bukan satu-satunya kebenaran dalam dunia hukum. Penganut aliran sosiologis dibidang hukum tentu akan berpendapat lain yaitu bahwa bagaiamanpun secara relaita, secara empiris, proklamasi kemerdekaan adalah suatu kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Jadi nanti kita menggunakan paradigma sosiologis barulah eksistensi negara Republik Indonesia dapat diterima sebagai suatu kenyataan.
Begitu pula dalam peralihan kekuasaan Bung Karno ke Soeharto dari kacamata formal-legalistik (normatif) sulit diterima sebagai suatu yang legal, akan tetapi dari optik sosiologis, surat perintah 11 Maret dapat diterima sebagai kenyataan, masyarakat Indonesia yang sedang berubah. Begitu juga ketika Soeharto dilengserkan sebelum akhir (5 Tahun) masa jabatannya seperti yang ditentukan oleh UUD 1945, jelas tidak dapat diterima dan kalau hanya dengan menggunakan paradigma yang semata-mata legal-formal (normatif) pemerintah Habibi dan seterusnya menjadi ilegal.
Jadi eksistensi Negara Republik Indonesia dan pemerintah sekarang, barulah menjadi fenomena sosial yang tidak bermasalah jika kita menggunakan paradigma empiris-sosiologis atau dengan kata lain dengan cara memaknai hukum tidak hanya dari sudut normatifnya tetapi juga dari sudut sosiologis.
Kalau kita mau naik setingkat dari paradigma normatif, empiris sosiologis dari pemaknaan hukum, disana ada cara pendekatan kajian pemaknaan hukum secara idealnya (law in ideas) yang memandang hukum sebagai seperangkat nilai ideal, yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan dan pelaksanaan kaidah hukum. Jika dalam pelaksanaan undang-undang pemerintahan daerah dengan menggunakan kajian filosofis, maka obyek bahasannya bukan lagi mengenai unsur-unsur dari pasal-pasal undang-undang pemerintahan daerah tersebut, melainkan aspek-aspek ideal dan moral dari pelaksanaan pemerintahan daerah. Jika misalnya dikaitkan dengan persoalan pengajuan pemakaran daerah oleh seorang Bupati tanpa melalui Gubernur, maka pertanyaan yang menjadi kajian filosofisnya adalah mengapa perbuatan Bupati tersebut dikategorikan telah menelikung Gubernur dan apa yang menjadi dasar moral pembenaran tindakan Bupati tersebut?.
Berdasarkan konsep berpikir hukum yang dibangun sebagaimana di uraikan diatas, barulah kita dapat memasuki pembahasan pokok dari pada tulisa ini yaitu: Pemaknai Peranan Gubernur sebagai wakil perintah di daerah: Normatif, empiris-sosiologis dan filosofis.
Kita ketahui bahwa asas pemerintahan daerah secara universal selalu dipahami mencakup tiga asas penting, yaitu: desentarlisasi, dekosentarsi, dan tugas pembantuan. Sejalan dengan pemahaman ini di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa Negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten, dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang (Psl 18 ayat 1 hasil perubahan kedua). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (ayat 2).
Mengenai pelaksanaan pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota diatur dalam undang-undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU ini dinyatakan bahwa provinsi diberi kedudukan disamping sebagai wilayah administrasi juga sekaligus sebagai daerah otonom, sedangkan pada kabupaten dan kota hanya semata-mata daerah otonom.
Dalam konteks demikian, timbul pertanyaan hukumnya " Bagaimana peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah?" secara normatif daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam pelaksanaan asas desentralisasi tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain (Psl 4 ayat 2 UU No 22 Tahun 1999). Daerah provinsi tidak membawahi daerah kabupaten dan kota, tetapi hanya sebatas hubungan koordinasi, kerja sama dan atau kemitraan dengan daerah kabupaten dan kota dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi dalam pelaksanaan asas dekosentrasi, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten dan daerah kota.
Dengan demikian, kalau kita maknai peranan Gubernur dari sisi normatifnya saja secara sepintas lalu tidak ada masalah jika dikaitkan dengan kejadian seperti contoh kasus yang yang dikemukakan dalam tulisan ini. Akan tetapi kalau kita mau jujur kejadian-kejadian tersebut selain menimbulakan keresahan dikalangan birokrat, masyarakat luas, juga telah meninggalkan kesan adanya ketegangan antara dua pucuk pimmpinan di daerah, yakni Gubernur dan Bupati yang seharusnya tidak perlu terjadi. Lebih dari itu barangkali dengan kejadian itu pula telah meningalkan luka didalam hati bagi yang merasi dilankahi, walaupun dari sisi normatifnya diperbolehkan. Pada hal saya yakin pembuat Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah tidak pernah membayangkan bahwa kalau nanti undang-undang ini berjalan Bupati akan bisa seenaknya melakukan suatu tindakan tanpa koordinasi dari Gubernurnya, sekalipun dengan alasan bahwa titik berat otonomi berada pada daerah Kabupaten/Kota. Belajar dari kasus itu, terkesan bahwa untuk kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum yang bersifat normatif telah mengesampingkan nilai-nilai etika dalam tata kehidupan yang mestinya harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Pemaknaan hukum hanya dari sisi normatifnya akan membawa hukum itu lepas dari pertimbangan etika moral dalam pelaksanaannya, sehingga tidak heran dimana-mana terjadi tarik menarik mengenai soal siapa yang paling berhak terhadap suatu urusan, bukan memikirkan kemanfaatannya bagi masyarakat luas.
Kita bersyukur bahwa Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah dalam kasus tersebut tidak larut dalam pemikiran hukum positivis-normatif, sehingga beliau tidak larut dalam perdebatan klasik soal siapa yang paling berhak dari sisi proseduralnya. Tapi yang paling penting adalah bagaimana membawa masyarakat Sulawesi Tengah dalam kehidupan yang penuh kesejahtraan, tentaram dan damai.
Eksistensi pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi fenomena sosial yang tidak bermasalah, jika kita menggunakan pemaknaan Undang-Undang pemerintahan daerah dengan paradigma sosiologis, dan filosofis. Karena di dalam UU No 22 Tahun 1999 banyak mengandung kelemahan. Salah satu diantara kelemahan itu adalah dalam pelaksanaan desentralisasi Provinsi, Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hirarkis, tetapi hanya hubungan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Dari sisi pendekatan sosilogis dalam memaknai hukum (UU) penekanannya akan tertuju pada kemanfaatan yang lebih besar terhadap masyarakat dengan tetap memperhatikan etika moral dalam tata kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Bukan seperti seperti pandangan positivis-normatif dimana hukum hanya dilihat dai kepastiannya untuk menandaskan adanya suatu hak, tanpa terlalu memperhatikan apakah dalam melaksnakan hak itu tidak melanggar etika. Dari sisi pendekatan sosiologis dalam memaknai hukum akan melihat ketentuan normatif yang menempatkan Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam hubungan koordinasi sebagai suatu kewajiban bagi Bupati untuk memkoordinasikan setiap tindakan yang dilakukannya, karena akan lebih banyak manfatnya dalam menciptakan hubungan harmonis di kalangan pemerintahan daerah.
Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah pada dasarnyan adalah dalam rangka pelaksanan asas dekosentrasi, yakni sebagai perekat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah barulah menjadi fenomena sosial yang tidak bermasalah jika asas dekosentrari diterima sebagai suatu kenyataan.
Jadi, kalau ada Bupati yang beranggapan bahwa peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah secara fungsional hanya bersifat fakultatif, maka segala tindakannya akan selalu menuai permasalahan. Penyelenggaraan otonomi daerah secara psikolohgis akan tergangu dan ini akan merugikan masyarakat. Otonomi daerah akan terselengara dengan baik apabila tercipat suasana yang kondusif di daerah. Hal ini tidak dapat tercipta kalau pejabat di daerah dalam memakmanai hukum otonomi hanya berpijak pada pikiran hukum normatif.
Saya pikir sudah saatnya para pejabat di daerah mengikuti pemikiran Bapak Gubernur, walaupun saya yakin bahaw Gubernur melakukan hal itu tidak menyadarinya bahwa sesunguhnya telah melakukan sebuah lompatan pemikiran hukum, yakni pemikiran hukum yang sosiologis. Hanya dengan cara berpikir demikian pemerintah bisa terhindar dari konflik internal birokasi mengenai soal kewenanagan. Semoga! (Penulis adalah Mahasiswa Program Ilmu hukum Program Pasca Sarjana UNHAS Kelas Palu
Perspektif Islam
Empat Problem Otonomi Daerah
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah. Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh.1 Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.2
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat. Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia).3 Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.4
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar. Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.
Solusi Syariah
Selain konsep otonomi daerah, alternatif solusi lain yang dalam dekade terakhir mulai menjadi bahasan banyak pihak untuk memperbaiki kesejahteraan negeri ini adalah konsep ekonomi syariah. Hanya saja, sebenarnya kita perlu membahasnya secara lebih makro, yaitu solusi syariah secara makro untuk negara. Selain terasa janggal jika rakyat Indonesia yang mayoritas muslim tidak pernah mencoba membahas tentang solusi syariah, solusi syariah sendiri secara paradikmatik-empirik mempunyai beberapa kekuatan. Solusi syariah secara makro juga mempunyai pandangan khas tentang desentralisasi. Terdapat beberapa hal yang menjadi kebijakan negara berdasar solusi syariah.
Pertama, sentralisasi politik. Selama ini orang umumnya trauma jika berbicara tentang sentralisasi. Semua itu bisa dipahami jika mengingat sentralisasi di jaman Soeharto (Orde Baru). Namun sentralisasi dalam syariah cukup berbeda dengan sentralisasi orde baru. Sentralisasi orde baru cukup ekstrim. Pemerintah pusat bukan hanya merupakan atasan pemerintahan di bawahnya. Tapi juga mempreteli kekuasaan di bawahnya dan mencengkeram dengan sangat kuat berbagai bidang operasional daerah dengan berbagai departemennya. Sentralisasi dalam syariah lebih menekankan agar negara berada dalam satu kesatuan politik. Ini dilakukan dengan cara khalifah (kepala negara) mempunyai akses komando atas pemerintahan di bawahnya, berhak mengangkatnya, dan berhak memberhentikannya. Sedangkan kekuasaan yang langsung dipegang pemerintah pusat itu sendiri lebih pada kekuasaan yang tidak bersifat operasional dan administratif, seperti militer, kepolisian, luar negeri, ekonomi kebijakan, dan keuangan.5 Dalam pemerintahan Islam biasa dikenal wali zakat dan wali sholat.6 Wali zakat adalah gubernur keuangan dalam tiap-tiap provinsi, yang menjadi saluran input keuangan dari daerah ke pusat. Sementara wali sholat adalah gubernur sebagaimana dalam pengertian sekarang, yang memikirkan urusan rakyat dengan anggaran yang dibutuhkan –hanya saja dalam Islam anggaran meminta ke pusat sesuai kebutuhannya. Ini berarti sektor input dan output keuangan berada dalam jalur yang berbeda. Kondisi ini diharapkan akan menguntungkan daerah dalam beberapa hal: komando pusat, anggaran yang jelas, lebih bersih dari politisasi dalam amsalah operasional, dan lebih terjaga dari korupsi. Bagi negara secara keseluruhan lebih utuh secara politik.
Kedua, kontrol pemerintahan yang sehat. Gambaran pemerintahan dengan strukur pohon di atas barangkali memunculkan kekhawatiran. Yaitu: kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan kurangnya partisipasi publik dan partisipasi daerah. Hal ini sebenarnya bisa dihindari dengan fakta bahwa syariah lebih menekankan agar pemerintah pusat dikontrol, bukan dipreteli kekuasaannya. Beberapa hal yang disiapkan syariah untuk menciptakan kondisi ini adalah: 1) Larangan memberhentikan mahkamah mazhalim (pimpinan peradilan negara) ketika sudah mendapat aduan tentang pemerintah. 2). Anggota majelis umat (dewan perwalikan) dipilih langsung oleh rakyat. 3) Majelis Umat terdapat di pusat, provinsi,dan daerah. Mereka merupakan lembaga kontrol dan masukan. 4). Partai politik bebas berdiri sepanjang berdasarkan syariah Islam, tugasnya bukan mencari kedudukan tapi mengontrol pemerintahan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.7 Jadi, berdasar syariah pemerintah pusat “dipaksa kuat, tapi juga dijaga supaya waras”. Kondisi ini juga lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat untuk “mempunyai pemerintahan yang baik”, bukannya “ingin memerintah sendiri”.
Ketiga, desentralisasi administrasi. Sungguhpun berlaku sentralisasi politik, tapi administrasi terdesentralisasi. Berbagai bidang operasional seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kebutuhan publik menjadi tanggung jawab daerah.8 Dengan melihat fakta bahwa daerah tidak menjadi jalur input keuangan tapi jalur output pelayanan, maka rakyat akan merasakan manfaat desentralisasi. Desentralisasi tidak akan dirasakan sebagai “naiknya karcis parkir” dan “melambungnya pajak” seperti saat ini. Desentralisasi akan dirasakan sebagai kecepatan dalam pelayanan.
Keempat, orientasi pemerataan. Berbeda dengan sistem ekonomi yang ada sekarang yang menganggap masalah ekonomi adalah kelangkaan, penanganan kelangkaan butuh produksi, pelaksanaan produksi butuh korporasi, kelancaran korporasi butuh peran pemerintah sebagai fasilitator korporasi; sistem ekonomi Islam mempunyai filosofi berbeda. Sistem ekonomi Islam berdasarkan filosofi tersendiri, yaitu masalah ekonomi adalah kurangnya distribusi, pelaksanaan distribusi butuh peran negara, peran negara butuh kebijakan yang adil, kebijakan yang adil butuh rujukan syariah. Kenyataannya, syariah memang sangat mengatur masalah distribusi. 1). Zakat untuk mengembalikan fakir, miskin, dan gharim (penghutang) kembali ke titik nol. 2). Seluruh sumber daya alam adalah milik umat dan dipakai untuk sesejahteraan umat sedangkan negara sekedar pengelola. 3) Kebijakan agraria yang sangat melindungi petani, seperti larangan menganggurkan tanah tiga tahun, penyitaan negara atas tanah yang dianggurkan, serta kebolehan memagari tanah kosong.9
Sedikit contoh paradigma syariah Islam dalam kehidupan bernegara itu kiranya bisa menjadi pertimbangan baru untuk mengambil langkah yang tepat untuk negeri ini.
Referensi:
Siti Fadilah Supari, Saatnya Dunia Berubah; Tangan Tuhan di Balik Flu Burung, SWI, Jakarta, 2008. Lihat bagian Perjuangan Belum Selesai, hal 142.
Husain Matla, Demokrasi Tersandera? Menyingkap Misteri 2 ¼ Abad (1783- sekarang), Big Bang, Semarang, 2007. Lihat hal 50, bab Planet Robot.
Lihat hal 8 dari Perampok Negara (edisi Indonesia), karya Noreena Herzt,bagian Monster-monster Perusahaan, terbitan Alenia, Jogjakarta, 2005.
Jurnal Al-Waie Januari 2008, Demokrasi dan Kedaulatan Pemilik Modal, Husain Matla.
Nizhamul Hukmi fil Islam, Taqiyuddin An-Nabhani, Daarul Bayaarid, Beirut, bagian Nizham Khilafah
Ibid. bagian Wali
Ibid, bagian Majlisul Ummah, Qadhi Mazhalim
Lihat An-Nizham al-Iqtishadiyu fil Islam, Taqiyuddin An-Nabhani, bagian Milkiyah
Benveniste, GUY, 1989. Birokrasi. Rajawali Pers. Jakarta
Pasandaran, Efendi. 1991. Irigasi di Indonesia : Strategi dan Pengembangan. LP3ES. Jakarta .
Sofer, Cyril. 1973. Organizations in Theory and Practice. Heinemann Educational Books Ltd. London .
Anonim. 1999. Undang-undang Ri No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. CV Mini jaya Abadi. Jakarta .

Tidak ada komentar: